x

Surabaya Jadi Titik Kritis Gerakan Sinema Humanis Lewat Festival Sinema Kita

waktu baca 2 menit
Senin, 12 Mei 2025 22:27 76 Pramitha

TODAYNEWS.ID – Kota Pahlawan kembali menunjukkan denyut kreatifnya lewat Festival Sinema Kita (FSK), yang digelar di Balai Pemuda pada Minggu (11/5).

Ajang ini menjadi ruang alternatif bagi publik untuk merenungi isu-isu kemanusiaan global, khususnya melalui medium film dan literasi.

Salah satu sesi paling menyentuh di festival ini adalah pemutaran film dokumenter Road to Resilience yang dipasangkan dengan diskusi buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah karya Noor Huda Ismail, seorang peneliti sekaligus aktivis perdamaian.

Acara ini menghadirkan sang penulis, sutradara Ridho Dwi Ristiyanto, serta Febri Ramdani—tokoh nyata dalam dokumenter tersebut.

Melalui film dan buku ini, terungkap kisah para WNI, terutama perempuan dan anak-anak, yang hingga kini masih tertahan di kamp pengungsian di Suriah.

Mereka adalah korban dari arus informasi yang menyesatkan, propaganda kekerasan, dan keputusan-keputusan yang diambil di tengah keterdesakan.

“Ini bukan soal menyalahkan. Ini tentang bertanya: apa yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka?” kata Noor Huda.

Ia menyoroti bahwa sebagian besar dari mereka berasal dari wilayah Jawa Timur, dan karenanya Surabaya dipilih sebagai salah satu kota kunci untuk menyuarakan kisah ini.

Melalui pendekatan 5R—repatriasi, relokasi, rehabilitasi, reintegrasi, dan resiliensi—Noor Huda mengajak publik untuk tidak hanya menjadi penonton, tapi juga bagian dari solusi.
Acara ini pun dirancang lintas sektor, menghadirkan unsur pemerintah, akademisi, ormas, mahasiswa, dan komunitas kreatif.

Kisah dalam Road to Resilience sendiri menggambarkan perjuangan Febri, remaja asal Indonesia yang terjebak dalam pusaran ISIS selama hampir setahun di Suriah. Ia berhasil pulang, namun harus menghadapi pengucilan dan stigma. Meski demikian, Febri perlahan bangkit, menata hidupnya kembali hingga menamatkan pendidikan tinggi di Indonesia.

“Film ini tidak sedang menggiring opini. Kami ingin menyampaikan realitas—yang getir namun penuh harapan,” ujar produser Ani Ema Susanti, yang juga pemenang Piala Citra untuk film dokumenter pada 2011.

Ia mengungkapkan bahwa proses produksi dokumenter berdurasi 37 menit ini membutuhkan waktu tujuh tahun.

Festival Sinema Kita hadir bukan hanya untuk merayakan film, tetapi juga untuk menguatkan suara-suara yang kerap terpinggirkan.

Surabaya, dengan geliat komunitasnya yang aktif, kini mulai menempatkan diri sebagai salah satu pusat penting dalam peta sinema sosial di Indonesia.

 

Post Views77 Total Count
LAINNYA
x