Yogyakarta – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. mengumumkan bahwa pemberian insentif kendaraan listrik berlaku pada 1 April 2023. Pemberian insentif kendaraan listrik merupakan bagian tidak terpisahkan dalam pembentukan ecosystem industry Nikel-Baterai-Mobil Listrik, utamanya dalam menciptakan pasar (market creation) di pasar dalam negeri.
Dalam penciptaan pasar kendaraan listrik, Pemerintah harus mewapadai jangan sampai pasar dalam negeri dikuasai oleh produk impor perusahaan asing, seperti yang terjadi pada industri otomotif konvensional.
“Untuk itu, Pemerintah harus mensyaratkan pemberian insentif kendaraan listrik, tidak hanya keharusan pabrik di Indonesia, tetapi juga harus mensyaratkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 85%. Pemerintah harus mensyaaratkan juga transfer teknologi, khsusnya technological capability dalam waktu 5 tahun. Kalau persyaratan tersebut dipenuhi, pada saatnya kendaraan listrik dapat diproduksi sendiri oleh anak-bangsa,” kata Ekonom UGM, Fahmi Radhi, dalam rilis pers yang diterima redaksi, Minggu (9/4).
Fahmi juga memaparkan bahwa pemberian insentif itu tidak akan serta merta membentuk pasar kendaraan listrik jika tidak diimbangi tersedianya (availabity) infrastruktur Stasiun Pengisian Listrik. Infrastruktur harus merupakan bagian tidak terpisakah dari pembentukan ecosystem industry Kendaraan Listrik. Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai satu-satunya penjual setrum harus mempunyai komitmen untuk mendukung kendaraan listrik di Indonesia.
Data menunjukkan bahwa infrastruktur pengisian kendaraan listrik yang tersedia pada 2022 sudah mencapai 616 Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), 1.056 Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) dan 6.705 Sistem Pengisian Listrik Umum (SPLU). Rencananya, pada 2023 akan terus dilakukan penambahan infrastruktur menjadi 750 unit SPKLU, 3.000 unit SPBKLU dan 15.000 unit SPLU.
“Selain infrastrutur, PLN juga harus berkomitmen secara istiqomah untuk menjalankan program migrasi dari penggunaan batubara ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Diharapkan ke depan akan tercipta penggunaan energi ramah lingkungan dari hulu hingga hilir sehingga bukan mustahil bagi Indonesia mencapai zero carbon pada 2060,” tambah Fahmi. (sat)