Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar. Foto: IstimewaTODAYNEWS.ID – Kementerian Agama bekerja sama dengan Pusat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (P3M) Universitas Indonesia melakukan survei Evaluasi Kerukunan Umat Beragama 2025.
Hasilnya, Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) 2025 mencapai 77,89, skor tertinggi sejak survei 2015.
Adapun Rilis hasil survei ini diumumkan pada momen Refleksi 2025 dan Proyeksi 2026 yang mengangkat tema Toward a Loving Future Ummah di Jakarta, Selasa (22/12/2025).
Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar, menegaskan bahwa capaian tersebut harus dimaknai sebagai panggilan moral, dan bukan sekadar angka statistik.
Menurutnya, agama perlu hadir sebagai kompas moral yang membimbing umat dalam menghadapi perubahan zaman yang berlangsung semakin cepat.
“Agama tidak boleh berhenti pada simbol dan ritual. Ia harus menjadi penuntun etis—kompas moral—yang memberi arah di tengah disrupsi sosial, teknologi, dan budaya,” ujar Menag.
Selain Indeks KUB, Kementerian Agama juga merilis Indeks Kesalehan Umat Beragama (IKsUB) dengan skor 84,61 atau masuk kategori sangat tinggi. Ada dua dimensi survei yaitu sosial dan individual.
Dimensi sosial mencakup solidaritas, relasi antar manusia, menjaga etika, pelestarian lingkungan, taat pada pemerintah, etika digital, dan pelestarian budaya.
Skor dimensi sosial pada IKsUB 2025 mencapai 82,00. Sementara dimensi individual mencakup ideologi, ritualistik, pengalaman spiritual, dan kecerdasan emosional. Skor dimensi individual pada IKsUB 2025 mencapai 87,21.
Indeks Kesalehan Umat Beragama mencatat tren peningkatan sejak 2020. Pada tahun tersebut, indeks kesalehan sosial tercatat di angka 82,53, dan kemudian naik menjadi 83,92 pada 2021, 84,55 pada 2022, turun sedikit ke 82,59 pada 2023, namun kembali meningkat menjadi 83,83 pada 2024. Tahun ini, IKsUB naik lagi menjadi 84,61.
Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Kemenag Muhammad Ali Ramdhani, survei ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan instrumen survei terstruktur untuk mengukur tingkat kerukunan umat beragama.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tatap muka (face-to-face interview) menggunakan kuesioner terstandar kepada 13.836 responden yang dipilih secara Multistage Random Sampling with Quota untuk memastikan keterwakilan wilayah dan keseimbangan gender.
Kriteria responden antara lain berusia ≥ 17 tahun atau sudah menikah, berdomisili minimal enam bulan di lokasi survei, serta mewakili enam Agama yang dilayani di Indonesia. Survei dilakukan pada rentang September – November 2025 dengan margin of error ±0.83% dan tingkat kepercayaan 95%.
“Berdasarkan hasil survei, indeks pada tiga indikator ini masuk kategori tinggi. Dimensi toleransi mencapai 88,82, dimensi kebersamaan 65.49, dan dimensi kesetaraan 79,35,” ujar Dhani sapaannya akrabnya.
Dimensi toleransi menjadi penopang terkuat kerukunan, ditopang subdimensi penerimaan dan penghormatan antarpemeluk agama. Sementara itu, kebersamaan masih memerlukan penguatan, khususnya pada aspek partisipasi lintas komunitas dalam kehidupan sosial.
Menurut Ramdhani, sejak 2015 sampai 2025, indeks KUB tahun ini adalah yang tertinggi. Angka KUB nasional dalam 11 tahun terakhir adalah, 75,36 (2015), 75,47 (2016), 72,27 (2017), 70,90 (2018), 73,83 (2019), 67,46 (2020), 72,39 (2021), 73,09 (2022), 76,02 (2023), 76,47 (2024).
“Tahun ini, Indeks KUB mencapai 77,89, tertinggi dalam 11 tahun terakhir,” tandasnya.
Dhani menegaskan bahwa kegiatan Refleksi 2025 dan Proyeksi 2026 (Repro) menjadi momentum strategis untuk menentukan arah kebijakan keagamaan yang berdampak nyata bagi masyarakat.
“Repro ini merupakan agenda tahunan BMBPSDM di penghujung tahun. Sesuai arahan Bapak Menteri Agama, kita ingin ke depan seluruh program Kemenag disusun berdasarkan data,” ujarnya.
Menurut Dhani, refleksi dilakukan melalui pengukuran berbasis sejumlah indeks kehidupan keagamaan yang menjadi instrumen evaluasi kebijakan Kementerian Agama.
Indeks tersebut meliputi Indeks Kerukunan Umat Beragama, Indeks Kesalehan Umat Beragama, Indeks Moderasi Beragama, Indeks Layanan Keagamaan, Indeks Keberagaman Siswa, Indeks Keberagaman Mahasiswa, serta Indeks Literasi Kitab Suci.
“Melalui indeks-indeks ini, kita menakar sejauh mana layanan dan kebijakan keagamaan benar-benar berdampak bagi umat,” jelas Dhani.