Ilustrasi seorang ibu meninggalkan trauma psikis kepada anak.TODAYNEWS.ID — Kasus pembunuhan sadis yang menewaskan Faizah Soraya (42) di Jalan Dwikora, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, Sumatera Utara, akhirnya terungkap. Peristiwa tersebut terjadi pada Rabu (10/12/2025) dan menyita perhatian publik.
Polrestabes Medan secara resmi menetapkan anak kandung korban berinisial A (12) sebagai pelaku utama. Penetapan ini diumumkan setelah rangkaian penyelidikan dilakukan oleh pihak kepolisian.
Kasus anak bunuh ibu kandung ini mengejutkan masyarakat karena usia pelaku yang masih sangat belia. Di balik peristiwa tersebut, terungkap fakta psikologis yang dinilai cukup mencengangkan.
Psikolog profesional Irna Minauli memaparkan hasil pemeriksaan terhadap A dalam konferensi pers pada Senin (29/12/2025). Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam empat kali pertemuan.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa A memiliki tingkat kecerdasan yang tergolong superior. Kemampuan tersebut tampak dari kecakapannya mempelajari musik dan seni secara mandiri.
“Anak ini sangat cerdas. Ia mampu mempelajari musik dan seni secara otodidak. Prestasinya selama ini juga sangat membanggakan,” ujar Irna Minauli, Direktur Minauli Consulting.
Meski melakukan tindakan ekstrem, A tidak mengalami gangguan mental berat. Pemeriksaan menyatakan tidak ditemukan indikasi skizofrenia maupun depresi.
Irna juga menyebut tidak ada tanda-tanda halusinasi atau delusi pada diri pelaku. Perilaku aneh yang biasanya muncul dalam kasus matricide juga tidak ditemukan.
Namun demikian, terdapat sejumlah faktor psikologis yang diduga menjadi pemicu peristiwa tersebut. Salah satunya adalah agresivitas tinggi serta emosi yang mudah meluap dan sulit dikendalikan.
Faktor lain yang teridentifikasi adalah rendahnya empati dan kurangnya interaksi sosial. Kondisi tersebut dinilai berkontribusi terhadap ketidakstabilan emosi pelaku.
Irna juga menyoroti kecenderungan pelaku memendam amarah dalam jangka waktu lama. Akumulasi emosi tersebut kemudian meledak menjadi tindakan fatal.
Selain itu, diduga terdapat pengaruh eksternal berupa pengalaman kekerasan atau paparan konten tertentu. Faktor lingkungan tersebut memperparah kondisi psikologis pelaku.
Ironisnya, meski memiliki kecerdasan tinggi, A tidak memahami konsekuensi hukum dan moral dari perbuatannya. “Secara kognitif ia sangat cerdas, namun ia tidak memahami konsekuensi dari perbuatannya itu,” kata Irna.
Kasus Anak Bermasalah dengan Hukum (ABH) ini kini menjadi perhatian serius aparat dan otoritas terkait. Pelaku yang masih di bawah umur dinilai memerlukan pendampingan khusus dalam proses hukum selanjutnya.