x

Pengembalian Dana Korupsi CPO Belum Punya Mekanisme Jelas

waktu baca 3 menit
Selasa, 21 Okt 2025 13:40 13 Afrizal Ilmi

TODAYNEWS.ID — Pakar hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih menilai keberhasilan Kejaksaan Agung mengembalikan uang pengganti Rp13,25 triliun dari kasus korupsi crude palm oil (CPO) sebagai capaian penting.

Ia menyebut langkah tersebut mencerminkan paradigma baru pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menurut Yenti, fokus pada pemulihan aset negara merupakan pendekatan yang sejalan dengan tren global asset recovery.

Ia menilai strategi ini lebih berorientasi pada hasil konkret dibanding sekadar menghukum pelaku.

Namun, Yenti mengingatkan bahwa efektivitas upaya pemulihan aset bergantung pada landasan hukum yang kuat.

Tanpa payung hukum yang jelas, uang hasil pengembalian berpotensi tidak terkelola dengan baik.

“Uang ini nanti kemana itu ditanyakan oleh masyarakat, kemungkinan tadi kan ke negara, ke presiden, kemudian masuknya ke Menteri Keuangan kan gitu ya ke Menteri Keuangan gitu ya ke Menteri Keuangan itu nanti kan gak tau untuk apa,” ujarnya.

Ia menyoroti belum adanya mekanisme yang pasti dalam pengelolaan dana hasil rampasan.

“Jadi misalnya mereka gak punya mechanism Menteri Keuangan juga masuk aja nanti dileburkan kemana-kemana gitu, itu tidak benar sebetulnya gitu,” tegasnya.

Yenti menilai pemerintah seharusnya sejak awal memiliki undang-undang perampasan aset.

“Nah harusnya kita itu sejak awal punya undang-undang perampasan aset jadi ada alasannya nih, uangnya dari mana, ada undang-undangnya gitu ya,” katanya.

Ia menjelaskan, undang-undang tersebut penting agar negara memiliki dasar hukum dalam merampas aset hasil kejahatan.

“Ya perampasan aset itu juga penting, itu penting perampasan aset itu bukan sekedar merampas aset-aset yang mencurigakan,” jelasnya.

Menurut Yenti, rancangan undang-undang perampasan aset juga memungkinkan penyitaan terhadap harta tersangka sebelum vonis dijatuhkan.

“Jadi yang digambar undang-undang perampasan aset itu mengatakan aset-aset yang bisa dirampas antara lain punyanya tersangka, terdakwa,” katanya.

Ia mencontohkan, dalam kasus dengan putusan onslag seperti perkara CPO, aset tetap bisa dirampas lewat mekanisme gugatan pengadilan.

Hal ini, ujarnya, memastikan proses pemulihan tidak tergantung pada status pidana akhir.

Selain itu, Yenti mempertanyakan mekanisme pengelolaan dana hasil rampasan yang kini masuk ke Kementerian Keuangan.

“Harusnya dalam undang-undang perampasan aset itu ada pengaturan tentang pengelolaan hasil kerja, pengelolaan rampasan dari hasil kejahatan termasuk dari korupsi,” ujarnya.

Ia menegaskan uang hasil rampasan berbeda dengan penerimaan pajak atau sumber pendapatan negara biasa.

“Karena uang ini adalah uang yang bukan dari pengelolaan atau dari penerimaan-penerimaan biasa seperti pajak. Ini kan kita kan gak punya pengelolaan,” katanya.

Yenti memperingatkan, tanpa regulasi tegas, negara akan selalu kalah cepat menghadapi pelaku korupsi yang menyembunyikan asetnya.

“Dengan UU perampasan aset, negara bisa bertindak cepat. Tidak perlu menunggu vonis pidana, cukup dibuktikan bahwa harta tersebut berasal dari tindak pidana korupsi,” ujarnya.

Ia menutup dengan mengingatkan pentingnya transparansi atas dana hasil rampasan sebelumnya.

“Makanya di masa lalu sebelum menteri ini, itu sudah ada 28 triliun, 16 triliun dari Jiwasraya itu dimana? mereka nanya loh, ini kita nanya loh masuk Kementerian Keuangan diapakan? Nggak transparan,” jelasnya.

Menurutnya, sorotan internasional terhadap pengelolaan dana hasil kejahatan menjadi peringatan serius bagi pemerintah. “Tidak bisa begini, harus jelas recovery-nya, pemulihannya untuk apa,” tegas Yenti.

Post Views14 Total Count

Pilkada & Pilpres

INSTAGRAM

20 hours ago
20 hours ago
23 hours ago
1 day ago

LAINNYA
x
x