Caption: Calon Jamaah Haji kloter 1 asal Tulungagung tiba di Asrama Haji Surabaya. Foto: Pramitha TODAYNEWS.ID — Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah menyoroti risiko munculnya praktik mafia dalam pengelolaan kuota haji di bawah Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj).
Ia menilai pola-pola lama yang sebelumnya terjadi di Kementerian Agama dapat berpindah dan muncul kembali di institusi baru tersebut.
Trubus menyampaikan kekhawatirannya bahwa para pelaku mafia justru ikut bergeser mengikuti perubahan struktur kelembagaan.
“Karena ini kan dugaan mafia yang dulunya di Kementerian Agama. Ini pada pindah di Kementerian Haji Umroh ini mas,” ujarnya.
Ia menyebut publik juga mulai menilai fenomena serupa. “Banyak publik melihat sekarang pindah (ke Kemenhaj). Artinya pindah itu Kementerian Haji Umroh ini kan dikelilingi oleh mafia-mafia itu lagi,” katanya.
Kemenhaj sebelumnya menetapkan mekanisme baru pembagian kuota haji untuk periode 1447 H/2026 M. Mekanisme tersebut mengacu pada proporsi jumlah daftar tunggu di setiap wilayah sebagai upaya menyeimbangkan masa tunggu antarprovinsi.
Namun kebijakan itu memunculkan ketimpangan di lapangan, terutama di daerah yang sebelumnya mendapat alokasi besar karena populasi muslim yang tinggi. Beberapa wilayah kini hanya memperoleh kuota jauh lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Salah satu contoh paling mencolok adalah Kabupaten Cianjur. Kuotanya turun drastis dari 1.305 menjadi hanya 59 jamaah, sehingga memperpanjang masa tunggu secara signifikan.
Trubus menilai kondisi tersebut membuka peluang praktik manipulasi oleh oknum tertentu. Ia menyebut pejabat kerap menciptakan situasi sulit agar jamaah terpaksa mengeluarkan biaya tambahan demi memperoleh kemudahan.
“Ini semua kan karena ini kan ulah dari birokrasi di Kementerian Agama. Kebijakannya itu memang sengaja seperti itu supaya mahal, supaya bisa diambil cuannya gitu,” kata Trubus. Ia menekankan bahwa masyarakat menjadi terpojok dan akhirnya harus membayar lebih mahal.
Menurutnya, efektivitas skema baru perlu terus dievaluasi. “Makanya kita lihat sebenarnya apakah skema yang ditawarkan ini efektif nggak? Kalau misalnya nggak efektif, tahun depan harus dirubah lagi,” ujarnya.
Selain mekanisme, ia menyoroti aspek pelaksanaannya. Trubus mempertanyakan apakah pengelolaan kuota haji oleh Kemenhaj akan lebih baik atau justru tidak berbeda dari era Kementerian Agama.
Ia menegaskan perlunya pengawasan ketat terhadap implementasi kebijakan ini. Menurutnya, penilaian publik ke depan akan menentukan apakah reformasi haji benar-benar membawa perubahan substantif.
Trubus juga mengingatkan bahwa persoalan haji selalu sensitif karena menyangkut hak masyarakat. Ia mengatakan tata kelola yang tidak transparan akan memicu persoalan baru di kemudian hari.
Untuk itu, ia mendorong pemerintah membuka ruang evaluasi secara periodik terhadap skema kuota. Langkah itu dinilai penting agar kebijakan tetap adil dan tidak dimanfaatkan oleh pihak yang ingin mencari keuntungan.
Trubus menyebut transformasi kelembagaan tidak otomatis mengubah praktik di lapangan. Ia menegaskan bahwa kualitas pelaksanaan menjadi kunci untuk memastikan kebijakan benar-benar berpihak pada jamaah.