TODAYNEWS.ID — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan penegakan hukum terhadap koruptor harus memberi efek jera. Pesan ini disampaikan usai mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer alias Noel meminta amnesti kepada Presiden.
“Kita penting melihat kembali esensi penegakan hukum yang memberikan efek jera para pelakunya dan rasa keadilan bagi masyarakat,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Minggu (24/8/2025). “Penegakan hukum yang serius juga sekaligus menjadi cermin komitmen negara dalam pemberantasan korupsi,” lanjutnya.
Budi menambahkan, KPK tidak berhenti hanya pada penindakan hukum. Menurutnya, upaya pencegahan juga akan dikuatkan agar celah korupsi tidak berulang.
“Fakta-fakta masih terbukanya celah terjadinya korupsi dalam pelayanan publik khususnya pada sektor ketenagakerjaan ini juga harus segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah pencegahannya,” tegas Budi. KPK menilai perbaikan sistem mutlak diperlukan.
Sebelumnya, Noel melontarkan permintaan amnesti ketika digiring ke mobil tahanan. Ia berbicara singkat dengan tangan terborgol mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK.
“Semoga saya mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo,” ujar Noel, Jumat (22/8/2025). Pernyataan itu disampaikan sebelum ia dibawa ke Rutan KPK cabang Gedung Merah Putih.
Namun, Istana memastikan Presiden Prabowo tidak akan memberi pembelaan. Pesan itu ditegaskan oleh Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi.
“Presiden juga pernah menyampaikan tidak akan membela bawahannya yang terlibat korupsi,” kata Hasan, Sabtu (23/8). Ia menekankan komitmen Presiden pada agenda pemberantasan korupsi.
KPK menduga Noel menerima jatah pemerasan Rp3 miliar pada Desember 2024. Selain itu, Noel juga diduga memperoleh satu unit motor Ducati.
Kasus ini bukan hanya melibatkan Noel. KPK menyebut ada 10 tersangka lain yang ikut serta sejak 2019.
Salah satunya adalah Irvian Bobby Mahendro (IBM). Ia disebut sebagai otak kejahatan sekaligus Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3 periode 2022-2025.
KPK menguraikan modus yang dipakai. Pihak yang mengurus sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dipaksa membayar lebih mahal dari tarif resmi.
Biaya resmi seharusnya hanya Rp275 ribu. Namun dalam praktiknya, pemohon diperas hingga harus merogoh Rp6 juta untuk mengurus sertifikasi.