TODAYNEWS.ID — Komisaris Utama PT Sritex, Iwan Setiawan Lukminto (ISL), ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Ia diduga menyalahgunakan kredit senilai Rp 692 miliar dari Bank BJB dan Bank DKI.
Kredit itu semula diberikan untuk modal kerja perusahaan. Namun, dana justru digunakan ISL untuk kepentingan lain di luar perjanjian kredit.
“Yang sedang terus didalami, ke mana aliran penggunaan uang Rp692 miliar,” kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, Jumat (23/5/2025).
Ia menegaskan penyidik tengah mengusut potensi kerugian negara akibat penyimpangan tersebut.
Menurut Harli, ISL semestinya menggunakan dana sesuai tujuan kredit. Kredit tersebut ditujukan untuk mendukung operasional, pegawai, dan produksi PT Sritex.
“Tetapi kenyataannya, ISL justru menggunakan ini untuk hal-hal lain,” ujar Harli. Ia menyebut dana itu diduga dipakai membayar utang yang tidak sesuai peruntukan.
Harli menjelaskan bahwa sekalipun utang itu milik perusahaan, tetap saja penyalahgunaan dana tidak bisa dibenarkan. Akad kredit secara tegas menyebut dana digunakan untuk keperluan modal kerja.
Lebih jauh, penyidik juga menemukan dugaan penggunaan dana kredit untuk pembelian aset non produktif. Penggunaan dana secara keliru ini diyakini ikut memperparah kondisi keuangan PT Sritex.
“Kalau ada manajemen yang baik, mungkin PT Sritex akan tetap sehat,” ucap Harli. Namun, realita yang terjadi justru sebaliknya—perusahaan tekstil besar itu kini bangkrut.
Ia mengungkap, Sritex sempat mencatatkan laba Rp1,8 triliun pada 2020. Sayangnya, hanya dalam setahun, kondisi berubah drastis dengan kerugian mencapai Rp15 triliun.
“Jadi ada deviasi yang cukup signifikan,” tambah Harli. Ia menyebut anomali keuangan ini menjadi celah awal untuk mengkaji dugaan korupsi yang akhirnya terbukti.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan ISL sebagai tersangka atas dugaan korupsi dalam pemberian kredit tersebut. Penyelidikan menunjukkan adanya penyimpangan dari tujuan kredit yang disepakati.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengungkap fakta hukum dalam kasus ini. “Dana tersebut tidak dipergunakan sebagaimana tujuan pemberian kredit,” kata Qohar, Rabu (21/5/2025).
Dana yang seharusnya untuk operasional perusahaan justru dipakai membayar utang dan membeli aset non produktif. Penyalahgunaan ini dianggap merugikan keuangan negara dan merusak integritas tata kelola perusahaan.