Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap Gubernur Riau Abdul Wahid menggunakan uang hasil pemerasan untuk perjalanan ke luar negeri. (Dok. KPK)TODAYNEWS.ID — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap Gubernur Riau Abdul Wahid menggunakan uang hasil pemerasan untuk perjalanan ke luar negeri. Uang itu berasal dari pungutan yang diduga dilakukan terhadap bawahannya di lingkungan Dinas PUPR PKPP Riau.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, uang tersebut digunakan dalam sejumlah lawatan.
“Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang Poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri. Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” ujar Asep di Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Selain Abdul Wahid, dua pejabat lain juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Mereka adalah Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M. Nursalam.
Keduanya kini ditahan bersama Abdul Wahid selama 20 hari pertama hingga 23 November 2025. Penahanan dilakukan untuk memperlancar proses penyidikan dan mencegah penghilangan barang bukti.
Abdul Wahid diketahui baru menjabat sebagai Gubernur Riau sejak Februari 2025. Ia dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto bersama wakilnya SF Hariyanto di Istana Negara.
Namun, tak lama setelah menjabat, Abdul Wahid diduga mulai merancang praktik pungutan tidak sah. KPK menilai ia berupaya mencari pendapatan tambahan melalui jalur yang melanggar hukum.
Tiga bulan usai pelantikan, tepatnya pada Mei 2025, pertemuan digelar di salah satu kafe di Pekanbaru. Sekretaris Dinas PUPR PKPP Ferry Yunanda dan enam kepala UPT wilayah I-VI membahas kesanggupan memberikan fee 2,5 persen kepada sang gubernur.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan fee itu terkait penambahan anggaran 2025 untuk proyek jalan dan jembatan.
“Fee tersebut terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar,” kata Johanis.
Setelah hasil pertemuan disampaikan kepada Kepala Dinas Arief Setiawan, nilai fee naik menjadi 5 persen atau sekitar Rp7 miliar. Kenaikan itu disebut atas permintaan pihak yang mewakili Gubernur Riau.
“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” ungkap Johanis Tanak.
Seluruh kepala UPT dan sekretaris dinas kemudian kembali bertemu dan menyepakati besaran fee 5 persen. Kesepakatan itu dilaporkan kepada Arief Setiawan dengan kode sandi “7 batang”.
Dari hasil penyidikan, KPK menemukan setidaknya tiga kali penyerahan uang pada Juni, Agustus, dan November 2025. Pada setoran ketiga inilah tim KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan menyita uang tunai Rp800 juta.
Tim penyidik juga menyegel rumah Abdul Wahid di kawasan Jakarta Selatan. Dari lokasi itu, ditemukan uang asing dalam pecahan 9.000 Poundsterling dan US$3.000, senilai total sekitar Rp800 juta.
Atas perbuatannya, Abdul Wahid, Dani M. Nursalam, dan M. Arief Setiawan dijerat Pasal 12 huruf e, huruf f, dan/atau Pasal 12B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. KPK menegaskan kasus ini masih berkembang dan akan menelusuri aliran dana lain yang terkait.