x

Dua Kepala Daerah Baru Terjerat Korupsi, TII Sebut Imbas dari Biaya Politik Mahal

waktu baca 3 menit
Jumat, 7 Nov 2025 14:01 2 Afrizal Ilmi

TODAYNEWS.ID — Belum genap setahun setelah pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024, dua pemimpin daerah sudah berurusan dengan hukum. Bupati Kolaka Abdul Azis dan Gubernur Riau Abdul Wahid ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Keduanya ditangkap dalam operasi tangkap tangan yang digelar KPK baru-baru ini. Kasus ini menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat praktik rasuah.

Dalam catatan KPK, ada 171 bupati dan wali kota yang pernah terlibat korupsi. Sementara untuk tingkat gubernur, jumlahnya sudah mencapai 30 orang.

Tahun 2024 saja mencatat lima kepala daerah ditangkap KPK dalam kasus serupa. Mereka adalah Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, dan Pj Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa.

Kini, di tahun 2025, dua nama baru kembali muncul dari Kolaka Timur dan Riau. Kasus mereka menjadi simbol berulangnya masalah integritas di level kepala daerah.

Gubernur Riau Abdul Wahid bahkan mencatatkan sejarah kelam bagi provinsinya. Riau kini menjadi wilayah dengan jumlah kepala daerah terbanyak yang ditangkap KPK, yakni empat kali.

Program Officer Divisi Tata Kelola Partisipasi dan Demokrasi Transparansi Internasional Indonesia (TII), Agus Sarwono, menilai fenomena ini berakar dari mahalnya biaya politik.

“Yang pasti kan ini implikasi dari biaya politik yang sangat tinggi ya. Dan tentu kan mahalnya biaya politik itu menjadi salah satu faktor penyebab ya,” ujarnya, dikutip pada Jumat (7/11/2025).

Agus mengutip data KPK yang menyebut biaya kampanye untuk satu kepala daerah bisa mencapai Rp20-100 miliar. Menurutnya, angka sebesar itu membuat banyak calon tergoda mencari cara cepat untuk mengembalikan modal.

“Konsekuensi logis dari modal besar adalah mengembalikannya dengan cara yang besar juga,” ujar Agus.

Ia menyebut praktik balik modal kerap dilakukan dengan cara ilegal seperti memanfaatkan anggaran publik, memainkan perizinan proyek, hingga melakukan pungutan liar.

Dalam kasus Riau, Agus menyinggung adanya praktik “jatah preman” yang dijalankan melalui jalur-jalur ilegal.

“Ini kan menunjukkan bahwa modusnya itu masih menggunakan modus-modus yang lama modus korupsinya, tapi lebih sistematis saja sebetulnya. Banyak pihak yang ikut terlibat,” katanya.

Karena pola ini terus berulang, Agus menilai perlu ada revisi sistem pemilihan kepala daerah. Tujuannya agar biaya politik bisa ditekan dan tidak menjadi beban yang mendorong korupsi.

Sementara itu, Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menyebut sistem pemerintahan saat ini masih memberi celah korupsi. Kepala daerah, kata dia, masih melihat peluang dalam kekuasaan untuk membiayai politik dan kepentingan pribadi.

“Bagaimana sistem yang ada saat ini masih menggunakan berbagai peluang dan kesempatan yang ada di dalam kekuasaannya untuk bisa mendukung pembiayaan politik dan pribadi,” ujarnya.

Ia juga menyoroti praktik politik uang dan tingginya biaya operasional yang tidak masuk dalam anggaran negara. Menurut Lakso, biaya tak resmi itu memicu kepala daerah mencari tambahan dana dengan berbagai cara.

“Nah biaya-biaya siluman inilah yang sebetulnya menjadi salah satu faktor yang memperparah kondisi,” tandasnya.

Pilkada & Pilpres

INSTAGRAM

7 hours ago
20 hours ago
22 hours ago
22 hours ago

LAINNYA
x
x