TODAYNEWS.ID – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memperketat pengawasan terhadap peredaran dan penggunaan obat bius.
Hal itu dilakukan imbas kasus pemerkosaan yang dilakukan dokter Priguna Anugerah Pratama di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Kepala BPOM RI, Taruna Ikrar bahkan meninjau langsung Gedung MCHC di RSHS. Gedung tersebut menjadi lokasi kasus pemerkosaan muncul ke publik.
Dalam tinjauannya, ia menegaskan bahwa BPOM akan memperketat regulasi, aturan, dan prosedur penggunaan obat-obatan, khususnya obat bius, di instalasi farmasi seluruh rumah sakit di Indonesia.
“Obat-obat seperti narkotik, psikotropik, termasuk obat bius adalah domain kami. Pengawasan dilakukan secara berjenjang berdasarkan klasifikasi, mulai dari narkotik, psikotropik, obat bius, antibiotik, hingga obat umum,” ujarnya di RSHS Bandung, Kamis (17/4/2025).
Ia menekankan pentingnya memastikan agar penggunaan obat bius di rumah sakit sesuai prosedur dan protokol. Sehingga hal itu bisa mencegah penyimpangan maupun penyalahgunaan.
“Kami sangat keras terhadap penggunaan ketamin. Saat ini ketamin belum masuk dalam golongan obat tertentu secara regulasi, namun penggunaannya di lapangan sangat masif dan rentan disalahgunakan, mulai dari untuk tato hingga penyalahgunaan lain yang tidak sesuai indikasi medis,” tuturnya.
Karena itu, lanjutnya, BPOM akan segera merevisi dan memperketat regulasi, termasuk membuat aturan khusus yang mengatur penggunaan ketamin dan obat-obatan bius lainnya.
Dia juga menyatakan, pihaknya tengah berkoordinasi erat dengan pihak kepolisian dalam menangani kasus yang melibatkan oknum dokter yang menggunakan obat bius untuk kejahatan.
“Seorang dokter mungkin memiliki keahlian, tapi jika akses terhadap obat bius dibatasi dan diawasi ketat, maka tindak kejahatan bisa dicegah. Kami akan lakukan pengawasan yang jauh lebih intensif ke semua rumah sakit,” tegasnya.
Ia menyoroti bahwa tindakan oknum dokter tersebut tidak hanya melanggar etik dan hukum, tapi juga mencoreng profesi kedokteran secara keseluruhan.
“Ini momentum bagi kami. Kasus ini menjadi trigger untuk memperbaiki dan menguatkan sistem pengawasan obat, agar tidak ada ruang lagi bagi penyalahgunaan, khususnya yang bisa mengancam keselamatan dan hak asasi pasien,” pungkasnya.(Mohammad)