Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto (tengah), menilai konsolidasi politik pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka adalah yang paling lemah sejak era reformasi. (Dok. Formappi) TODAYNEWS.ID — Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto, menilai konsolidasi politik pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka adalah yang paling lemah sejak era reformasi.
Ia menyampaikan pandangannya dalam diskusi media bertajuk “1 Tahun Prabowo-Gibran: Indonesia Emas atau Cemas” pada Minggu (19/10/2025).
“Kita lihat dulu, faktor apa yang membuat Prabowo menang pada Pemilu 2024. Faktor yang paling jelas adalah keberpihakan Jokowi dan manipulasi Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran menjadi Cawapres, ditambah ketidaknetralan pemerintah dan aparatur,” ujar Arif.
Meski begitu, Arif mengakui ada faktor dari diri Prabowo sendiri yang turut memengaruhi kemenangan di Pilpres 2024. Ia menyebut perubahan gaya komunikasi publik Prabowo menjadi salah satu daya tarik baru di kalangan pemilih muda.
“Prabowo di Pemilu 2024 bukan lagi Prabowo yang menggebu-gebu seperti 2014 dan 2019. Prabowo di 2024 adalah Prabowo yang gemoy, suka joget, suka medsos, dan lebih dekat dengan kelompok muda. Tapi penjelas utama tetap adalah Jokowi,” kata Arif.
Menurut Arif, kemenangan yang banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal itu membawa konsekuensi politik tersendiri.
“Kalau Jokowi punya peran penting dalam kemenangan Prabowo, ini lah persoalan paling awal bagi Prabowo saat mendapatkan kekuasaan sebagai presiden,” ujarnya.
Ia kemudian mengingatkan publik terhadap tudingan lama Prabowo di masa lalu yang menyebut Jokowi sebagai “presiden boneka” Megawati Soekarnoputri. “Tapi dibuktikan oleh Jokowi itu keliru, dan terbukti di 2024 Jokowi berseberangan dengan Megawati atau PDI-P,” kata Arif.
Situasi itu, kata Arif, menjadi tantangan serius bagi Prabowo dalam membangun citra politik yang mandiri. “Ini jadi tantangan serius bagi Prabowo, apakah pemerintahan ini akan terus dianggap sebagai pemerintahan Jokowi,” tegasnya.
Ia menilai Prabowo kini sedang berusaha keluar dari bayang-bayang pengaruh Jokowi, meski upaya itu tidak mudah. “Tetapi ini tidak mudah dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukan Jokowi terhadap Megawati. Padahal kita tahu cengkeraman PDI-P terhadap Jokowi sangat kuat,” ujarnya.
Menurut Arif, kesulitan itu muncul karena posisi Prabowo yang didukung oleh partai mayoritas justru membuatnya tidak sepenuhnya leluasa. “Ketergantungan berlebihan terhadap Jokowi hanya akan membuat Prabowo seperti presiden boneka, seperti yang ia kritik kepada Jokowi pada 2014 dan 2019,” tuturnya.
Ia menambahkan, ketergantungan terhadap partai politik juga bisa menjadi beban tersendiri bagi presiden. “Prabowo juga tidak boleh ketergantungan kepada partai politik pendukungnya, karena karakter partai di Indonesia kebanyakan ambigu, sulit menentukan mana kawan mana lawan,” kata Arif.
Lebih lanjut, Arif membandingkan kekuatan politik Prabowo dengan Jokowi ketika menjabat. Ia menilai Jokowi memiliki tingkat popularitas dan pengaruh politik yang jauh lebih kuat dibandingkan pendahulunya.
“Bahkan saya bisa memastikan bahwa saat ini, meskipun Prabowo adalah presiden, dia bukanlah politikus yang paling kuat power-nya di Indonesia,” pungkasnya.