Juru Bicara KPK Budi Prasetyo.TODAYNEWS.ID — Komisi Pemberantasan Korupsi menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 atas kasus dugaan korupsi izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Kasus tersebut sebelumnya disebut merugikan keuangan negara hingga Rp 2,7 triliun.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan alasan penghentian penyidikan tersebut. Ia menyebut penyidik tidak menemukan kecukupan alat bukti meski perkara telah naik ke tahap penyidikan.
“Bahwa tempus perkaranya adalah 2009 dan setelah dilakukan pendalaman pada tahap penyidikan tidak ditemukan kecukupan bukti,” ujar Budi. Pernyataan itu disampaikan KPK saat menjelaskan penerbitan SP3.
Menurut Budi, penghentian penyidikan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum. Langkah ini diambil setelah proses pendalaman perkara dilakukan secara menyeluruh.
“Sehingga KPK menerbitkan SP3 untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait,” ujarnya. Meski demikian, KPK menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk membuka kembali perkara tersebut.
Budi menegaskan KPK tetap terbuka terhadap informasi baru dari masyarakat. Informasi tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan jika relevan dengan perkara yang dihentikan.
“Kami terbuka, jika masyarakat memiliki kebaruan informasi yang terkait dengan perkara ini untuk dapat menyampaikannya kepada KPK,” kata Budi. Pernyataan ini menegaskan sikap KPK pasca penerbitan SP3.
Sebagai informasi, kewenangan KPK menerbitkan SP3 muncul setelah revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Kasus ini sebelumnya bermula dari penetapan tersangka oleh KPK pada 2017. Saat itu, mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman ditetapkan sebagai tersangka.
Penetapan tersangka diumumkan langsung oleh pimpinan KPK. “Menetapkan ASW (Aswad Sulaiman) sebagai tersangka,” ucap Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang.
Saut menyebut dugaan korupsi berkaitan dengan penerbitan izin pertambangan di Konawe Utara. Perizinan tersebut meliputi izin eksplorasi, izin usaha pertambangan, dan izin operasi produksi.
Menurut KPK saat itu, dugaan tindak pidana berlangsung dalam rentang waktu 2007 hingga 2009. Aswad diduga menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala daerah.
Saut menjelaskan perbuatan tersebut diduga menyebabkan kerugian keuangan negara dalam jumlah besar. Kerugian itu disebut berasal dari aktivitas pertambangan nikel.
“Indikasi kerugian negara yang sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun yang berasal dari penjualan produksi nikel, yang diduga diperoleh dari proses perizinan yang melawan hukum,” kata Saut saat itu. Nilai kerugian tersebut menjadi salah satu sorotan utama dalam perkara ini.
Dengan diterbitkannya SP3, proses penyidikan kasus ini resmi dihentikan. Namun, KPK menegaskan pintu penegakan hukum tetap terbuka jika ditemukan bukti atau informasi baru di kemudian hari.