Caption: Sidang Paripurna Pengesahan RUU TNI Menjadi Undang-Undang. Foto: TV Parlemen TODAYNEWS.ID — Pakar hukum pidana Abdul Fikar menilai sikap hati-hati DPR dalam membahas Undang-Undang Perampasan Aset (UUPA) merupakan langkah wajar. Ia memahami keraguan legislatif terhadap potensi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.
Menurut Fikar, kehati-hatian itu muncul karena ruang untuk penyitaan aset tanpa putusan pengadilan bisa disalahartikan. Ia menekankan pentingnya mekanisme pengawasan yang kuat sebelum aturan tersebut diberlakukan.
“Harus ada putusan pengadilannya, kecuali UU Perampasan Aset sudah disahkan,” kata Fikar. Ia menyampaikan hal itu ketika ditanya kemungkinan penyitaan aset dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina.
Seperti diketahui, nilai dugaan kerugian negara dalam kasus Pertamina mencapai hampir Rp300 triliun. Publik pun bertanya-tanya apakah pemulihan dana besar seperti kasus ekspor crude palm oil (CPO) bisa dilakukan kembali.
Fikar menegaskan pemulihan aset dari tindak pidana korupsi tidak bisa dilakukan sepihak. Ia mengingatkan, tanpa regulasi yang tegas, aparat bisa tergoda menggunakan kewenangannya di luar koridor hukum.
“Jadi pengawasannya harus ketat, supaya oknum-oknum polisi dan jaksa maupun institusinya tidak sembarangan merampas dan menyalahgunakan kewenangannya,” tegasnya.
Fikar menilai DPR sangat berhati-hati karena risiko penyalahgunaan tersebut. “DPR memang hati-hati karena kekhawatiran itu, maklum, karena itu dua lembaga ini (Polri dan Kejaksaan) harus direformasi,” ujarnya.
Meski begitu, Fikar juga melihat urgensi UUPA semakin mendesak. Ia menilai undang-undang itu dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan aset negara tanpa harus menunggu putusan inkrah.
Di sisi lain, Fikar menyoroti soal pengelolaan dana Rp13,25 triliun dari kasus korupsi ekspor CPO. Ia menegaskan dana hasil sitaan harus digunakan secara bertanggung jawab sesuai mekanisme APBN.
“Semua pembayaran kerugian negara masuk ke kas negara melalui pendapatan bukan pajak. Kalau sudah masuk dan tercatat maka semua pengeluaran harus berdasar APBN, di sini kontrolnya,” ujar Fikar, Rabu (22/10/2025).
Ia menambahkan, dana hasil rampasan berbeda dengan kekayaan negara yang dipisahkan seperti aset BUMN. “Berbeda dengan kekayaan negara yang sudah dipisahkan pada BUMN, maka pengeluarannya dengan mekanisme korporasi sebagai badan usaha,” lanjutnya.
Fikar juga menanggapi rencana Presiden Prabowo Subianto memanfaatkan dana sitaan untuk renovasi sekolah dan kampung nelayan. Ia menilai langkah itu sah sejauh mengikuti mekanisme APBN.
“Kalau dikeluarkan sesuai mekanisme APBN tidak masalah, apalagi pendidikan itu sudah ada quotanya 20 persen APBN,” kata Fikar. Ia menilai komitmen pemerintah menggunakan dana rampasan untuk kepentingan publik patut diapresiasi.
Fikar berharap sinergi antara eksekutif, legislatif, dan aparat hukum tetap dijaga dalam mengelola aset hasil korupsi. Ia menekankan bahwa keadilan dan akuntabilitas harus menjadi roh dari setiap kebijakan pemulihan keuangan negara.