x

Pakar Hukum Soroti Politik Uang di Balik Maraknya Pimpinan Daerah Terjerat Korupsi

waktu baca 2 menit
Selasa, 4 Nov 2025 18:54 1 Afrizal Ilmi

TODAYNEWS.ID — Gubernur Riau Abdul Wahid kembali menambah daftar panjang kepala daerah di Riau yang terjerat kasus korupsi. Ia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan bersama sembilan orang lain di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Riau.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai praktik korupsi pejabat daerah tidak bisa dilepaskan dari sistem politik uang dalam Pemilu. Ia menyebut fenomena ini sebagai cerminan mahalnya biaya menjadi pejabat publik di Indonesia.

“Ya itu indikator yang jelas bahwa pemerintahan dan korupsi tidak terpisahkan. Kenapa? Karena biaya untuk menjadi pejabat publik pemerintahan tinggi, karena money politik tidak bisa dihindarkan, akibat masyarakat yang masih miskin,” kata Fickar, Selasa (4/11/2025).

Abdul Wahid menjadi Gubernur Riau keempat yang tertangkap tangan oleh KPK. Sebelumnya, tiga gubernur lain juga dijerat kasus korupsi dengan beragam modus penyalahgunaan wewenang.

Nama pertama adalah Saleh Djasit, Gubernur Riau periode 1998–2003 yang juga politikus Partai Golkar. Ia divonis empat tahun penjara karena korupsi pengadaan 16 unit mobil pemadam kebakaran senilai Rp15,2 miliar pada 2003.

Berikutnya, Rusli Zainal yang menjabat dua periode pada 2003–2013 juga terjerat dua perkara besar. Ia terbukti menerima suap terkait proyek pembangunan venue PON XVIII 2012 dan kasus izin usaha kehutanan (IUPHHK-HT).

Rusli dinilai menyalahgunakan wewenang demi memperlancar proses perizinan dan proyek infrastruktur. Ia divonis 14 tahun penjara yang kemudian dikurangi menjadi 10 tahun setelah melalui Peninjauan Kembali.

Gubernur ketiga, Annas Maamun, juga tersangkut dua kasus korupsi saat menjabat pada 2014–2019. Ia menerima suap dari pengusaha sawit untuk mengubah status kawasan hutan dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Riau.

Annas ditangkap bersama pengusaha Gulat Medali Emas dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara. Setelah sempat mendapat grasi pada 2020, ia kembali dijebloskan ke penjara karena kasus gratifikasi pengesahan RAPBD.

Menurut Fickar, praktik korupsi di daerah sering kali berakar dari politik uang dalam masa Pemilu. “Pemilihan tidak didasarkan pada kualitas calon, tetapi pada berapa banyak calon dapat membagikan uang,” ujarnya.

Ia menilai kondisi ini muncul karena masyarakat masih kecewa terhadap hasil pembangunan dan pelayanan publik. Ketidakpuasan tersebut membuat politik uang tetap subur di setiap kontestasi politik.

Selain itu, Fickar menyoroti lemahnya fungsi pengawasan di lingkungan pemerintahan daerah. Ia menilai pengawasan internal perlu diperkuat agar tidak mudah dimanipulasi.

“Pengawasan Irjen harus digalakkan, bagaimana agar Irjen itu berwibawa dan tidak bisa disuap,” jelasnya. Menurutnya, reformasi pengawasan internal menjadi langkah penting agar praktik korupsi di daerah tidak terus berulang.

 

Pilkada & Pilpres

INSTAGRAM

21 hours ago
21 hours ago
1 day ago
1 day ago

LAINNYA
x
x