Rapat Sidang Paripurna DPR RI, pada Selasa (26/8/2025). Foto: Istimewa TODAYNEWS.ID — Pakar hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih, menegaskan pentingnya percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Menurutnya, regulasi ini mendesak agar pengelolaan hasil rampasan korupsi tidak disalahgunakan.
Ia menilai, RUU tersebut tidak hanya mengatur mekanisme perampasan, tetapi juga penggunaan hasil rampasan secara transparan. “Undang-undang perampasan aset itu harus segera jadi jangan berpikir bahwa nanti penegak hukum akan semenang-menang merampas,” ujarnya, Selasa (21/10/2025).
Menurut Yenti, masyarakat perlu memahami bahwa substansi RUU itu bukan sekadar menyita aset pelaku korupsi. “Banyak hal yang akan diatur dengan ini, bukan hanya merampas. Merampas hanya salah satunya saja gitu,” jelasnya.
Pernyataan itu muncul setelah Kejaksaan Agung menyerahkan uang pengganti Rp13,25 triliun ke negara dari kasus korupsi ekspor CPO. Ia kemudian mempertanyakan bagaimana hasil rampasan tersebut akan dikelola dan digunakan.
“Kemarin itu Pak Prabowo bilang untuk pendidikan dan nelayan, kurang lebih gitu, nah ini tuh gak bisa juga dianggap ya maksudnya oke untuk itu tapi harus ada sistematikanya gitu,” kata Yenti. Ia menilai perlu aturan jelas agar dana rampasan tidak asal dialokasikan.
Ia memahami langkah pemerintah menggunakan dana rampasan untuk sektor pendidikan karena bersifat mendesak. Namun, keputusan itu tetap harus diawasi dengan ketat dan diaudit secara menyeluruh.
“Mungkin yang mendesak pendidikan dan kampung nelayan, tapi tetap harus diaudit. Kemungkinan keuangannya negara juga harus diaudit, jangan gak mau diaudit juga,” tegasnya.
Menurut Yenti, setiap dana hasil rampasan sebaiknya digunakan untuk memulihkan sektor yang terdampak korupsi. Prinsip “recovery” harus dijadikan acuan agar pemanfaatan aset tepat sasaran.
“Harus dilihat ini korupsi apa, yang dirusak apa. Jadi harusnya ini kan korupsi sawit, berarti berkaitan dengan kehidupan, jadi harusnya dikembalikan kepada tujuan semula,” jelasnya.
Ia menilai tanpa regulasi khusus, dana rampasan berisiko bocor atau disalahgunakan lagi. “Kita harus pantau yang 13 triliun dan 4 triliun itu untuk apa, jangan juga nanti malah bocor di sana, jadi malah dikorupsi lagi,” katanya.
Yenti juga menyinggung kekhawatiran publik terhadap kasus-kasus sebelumnya yang tak transparan. Ia mencontohkan dana ASABRI Rp28 triliun dan Jiwasraya Rp16 triliun yang belum jelas penggunaannya.
“Kalau pemerintahan yang lalu belum bisa menjelaskan 28 triliun ASABRI dan Jiwasraya yang 16 triliun, kemana uangnya? Untuk apa? Kalau gak bisa menjelaskan berarti kan ada salah kelola,” tegasnya.
Ia berharap pemerintah dan DPR segera menuntaskan pembahasan RUU Perampasan Aset. Menurutnya, regulasi ini menjadi kunci agar hasil penegakan hukum korupsi benar-benar kembali untuk kepentingan publik.
Dengan payung hukum yang kuat, Yenti yakin sistem keuangan negara akan lebih transparan dan akuntabel. “Negara jangan semau-maunya menggunakan, kita harus awasi,” pungkasnya.