Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, pada saat debat Pilpres 2024 lalu. Foto: TODAYNEWS/Dhanis TODAYNEWS.ID — Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto, menilai Presiden Prabowo Subianto tidak profesional dalam menjalankan pemerintahan. Ia menyoroti keterlibatan TNI dan Polri dalam urusan politik sebagai langkah yang berpotensi merusak tatanan demokrasi.
Menurut Arif, langkah Prabowo itu menunjukkan kemunduran nilai-nilai demokrasi yang pernah diperjuangkan pasca reformasi.
“Mengandalkan TNI dan Polri untuk urusan politik itu jelas tidak profesional,” ujarnya dalam diskusi bertajuk 1 Tahun Prabowo-Gibran: Indonesia Emas atau Cemas, Minggu (19/10/2025).
Ia mengingatkan bahwa praktik politisasi aparat keamanan merupakan kesalahan yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.
“Apa yang kita lawan di era Soeharto salah satunya adalah politisasi TNI dan Polri, tapi gejalanya semakin kuat dalam 10 tahun terakhir,” kata Arif.
Arif bahkan menyebut kondisi itu semakin memburuk sejak awal pemerintahan Prabowo-Gibran. Ia menyoroti keterlibatan aparat dalam urusan di luar tugas pokok mereka, termasuk pengelolaan ketahanan pangan dan penanganan demonstrasi.
“Gejalanya semakin memburuk, mulai dari keterlibatan dalam pengelolaan ketahanan pangan. Polri juga secara tidak profesional menangani demonstrasi dengan kekerasan,” tuturnya.
Selain itu, Arif menilai konsolidasi politik pemerintahan Prabowo dan Gibran merupakan yang paling lemah sejak era reformasi. Ia menyebut kemenangan mereka pada Pemilu 2024 banyak ditentukan oleh faktor eksternal.
“Faktor paling jelas adalah keberpihakan Jokowi dan manipulasi Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran menjadi cawapres,” ujarnya.
Meski begitu, Arif mengakui Prabowo memiliki faktor pribadi yang turut mendukung kemenangannya. Ia menyebut perubahan gaya komunikasi Prabowo berhasil menarik simpati kalangan muda.
“Prabowo di 2024 bukan lagi Prabowo yang menggebu-gebu seperti 2014 dan 2019,” katanya. “Ia tampil gemoy, suka joget, dan aktif di medsos, tapi penjelas utama tetap adalah Jokowi,” lanjutnya.
Menurut Arif, kemenangan yang sangat dipengaruhi oleh Jokowi menimbulkan persoalan baru bagi Prabowo setelah menjabat sebagai presiden. Ia menilai Prabowo kini menghadapi tantangan besar untuk membangun citra politik yang mandiri.
“Kalau Jokowi punya peran penting dalam kemenangan Prabowo, ini jadi persoalan paling awal bagi Prabowo saat berkuasa,” ujarnya. Arif menyebut situasi ini membuat publik sulit memisahkan pemerintahan Prabowo dari bayang-bayang Jokowi.
Arif mengingatkan publik terhadap tudingan lama Prabowo yang pernah menyebut Jokowi sebagai presiden boneka. “Tapi dibuktikan oleh Jokowi itu keliru, dan terbukti di 2024 Jokowi justru berseberangan dengan Megawati,” katanya.
Ia menilai Prabowo kini berupaya melepaskan diri dari pengaruh Jokowi, meski langkah itu tidak mudah. “Ketergantungan berlebihan terhadap Jokowi hanya akan membuat Prabowo seperti presiden boneka,” ujarnya.
Arif menutup dengan menilai posisi politik Prabowo belum sekuat Jokowi saat menjabat. “Bahkan saya bisa memastikan bahwa meskipun Prabowo adalah presiden, dia bukanlah politikus yang paling kuat power-nya di Indonesia,” pungkasnya.