x

RKUHAP Dikebut DPR, Pengamat Soroti Potensi Ketergesaan dan Masalah Substansi HAM

waktu baca 2 menit
Kamis, 12 Jun 2025 18:12 69 Afrizal Ilmi

TODAYNEWS.ID — Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) tengah dikebut oleh DPR meski waktu yang tersedia sangat terbatas.

Lucius Karus dari Formappi menilai situasi ini bisa menimbulkan siasat politik yang berisiko terhadap kualitas legislasi.

Lucius menyebut DPR hanya memiliki tiga masa sidang tersisa sebelum target pengesahan akhir 2025. Masa sidang yang ada hanya mencakup sekitar 60 hari kerja efektif hingga Desember.

“Masa sidang terakhir tahun 2024-2025 hanya tersisa satu masa sidang selama Juni-Juli,” ujar Lucius dalam diskusi publik bertajuk Kupas Tuntas RKUHAP, Kamis (12/6/2025). Ia khawatir keterbatasan waktu membuat pembahasan tergesa-gesa.

Menurut Lucius, lemahnya pengawasan terhadap proses legislasi akan memberi ruang manuver aktor-aktor dengan kepentingan sektoral. Ia menyebut lembaga penegak hukum bisa menyisipkan pasal yang menguntungkan institusi mereka.

“Kalau luput dari pantauan kita, lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, pengacara, dan pengadilan bisa memberikan usulan yang menguntungkan mereka,” katanya. Karena itu, ia menegaskan pentingnya keterlibatan publik sejak dini.

Sementara itu, peneliti PSHK Bugivia Maharani menggarisbawahi tiga catatan utama terhadap substansi RKUHAP, yaitu readjust, revision, dan reformulation. Menurutnya, KUHAP baru harus menyesuaikan dengan prinsip dan kewajiban hukum internasional.

“Readjust itu maksudnya menyesuaikan kembali cara pandang KUHAP sekarang dengan mandat internasional,” kata Bugivia. Ia mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi delapan perjanjian HAM internasional pascareformasi 1998.

Naskah akademik RKUHAP sendiri mengklaim mengacu pada perkembangan internasional. Namun, Bugivia melihat banyak ketentuan penting HAM yang belum terakomodasi secara utuh dalam draf undang-undang tersebut.

Ia mencontohkan ketiadaan aturan eksplisit mengenai larangan penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, serta hak untuk memilih penasihat hukum. Selain itu, masih ada potensi penyalahgunaan wewenang oleh penyidik.

“Penyiksaan dan perlakuan buruk terjadi secara meluas, khususnya selama proses pengamanan oleh polisi,” tegasnya. Ia menyebut metode investigasi yang masih bergantung pada pengakuan tersangka sebagai celah serius.

Bugivia juga menyoroti lemahnya sistem pencatatan proses penahanan oleh kepolisian. Hal itu memperparah potensi pelanggaran HAM dalam sistem peradilan pidana.

Ia menambahkan bahwa Indonesia belum memiliki aturan yang melarang penggunaan pernyataan tersangka yang diperoleh melalui penyiksaan sebagai alat bukti. “Belum ada ketentuan hukum yang menjamin hal itu,” tuturnya.

Diskusi ini menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dalam pembahasan RKUHAP. Tanpa pengawalan ketat, pembaruan hukum acara pidana bisa melenceng dari prinsip keadilan dan HAM.

Post Views70 Total Count
Iklan

Pilkada & Pilpres

INSTAGRAM

7 hours ago
15 hours ago
15 hours ago
15 hours ago

LAINNYA
x