TODAYNEWS.ID – Menteri Desa dan Pembangunan Desa Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto mengungkap polemik yang terjadi di desa-desa mengenai persaingan politik yang berdampak terhadap ketimpangan ekonomi.
Dalam keterangannya, sosok yang akrab disapa Yandri itu menyebut polemik yang terjadi itu ditengarai disebabkan belum dewasanya para tokoh politik setempat sehingga berdampak terhadap masyarakat.
Yandri menjelaskan, bahwa salah satu contohnya yakni pihak-pihak yang kalah dalam persaingan politik di tingkat desa disinyalir kerapkali menerima perilaku diskriminatif tidak mendapatkan hak-hak yang berkaitan dengan bantuan sosial.
Yandri mengatakan polemik itu kemudian juga menjadi bahasan dan perhatian khusus pemerintah pusat agar pembentukan Koperasi Merah Putih tidak mengulang hal tersebut.
“Tantangannya, pembelahan di tingkat desa itu sangat terpelihara dengan baik. Politik lokalnya, jadi pihak-pihak yang kalah cenderung bakal ditinggalkan. Bukan hanya pembentukan koperasi desa Merah Putih, tapi hal-hal yang lain,” kata Yandri dalam acara diskusi di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (12/6/2025).
Di sisi lain, Yandri menerangkan bahwa salah satu contoh terkait pembelahan itu dapat dilihat dari pengalokasian barusan sosial dari pemerintah pusat yang disinyalir tidak diberikan kepada warga yang tidak mendukung kepala desa.
Yandri mengaku, menemukan fakta polemik itu ketika dirinya masih menjabat sebagai Ketua Komisi VIII DPR RI yang bermitra dengan Menteri Sosial (Mensos).
“Jadi ada contoh, bansos. Didata, mana yang jadi pendukung saya dimasukkan. Yang nggak mendukung saya ditinggalkan, itu biasa. Menjadi problem selama ini. Dan saya tahu persis, karena saya pernah Ketua Komisi VIII, mitra kerja kita itu adalah Menteri Sosial. Tahu kita,” ungkap Yandri.
Yandri menekankan, bahwa praktik pembelahan diskriminatif tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam menyusun program Koperasi Merah Putih.
Yandri menegaskan, sebagai poin langkah pencegahan soal perilaku diskriminatif itu pihaknya telah memutuskan untuk menerbitkan surat edaran yang mengatur soal mekanisme musyawarah desa dan kota yang transparan.
“Nah ini yang kita lakukan, kita buat surat edaran. Bagaimana musyawarah desa sosial dilaksanakan dengan tertib. Siapa pesertanya? Dia nggak boleh mal administrasi. Karena itu bisa digugat oleh masyarakat desa yang lain. Dari awal sudah kita kanalisasi ini,” beber Yandri.
Yandri menambahkan, selain itu pihaknya juga telah menerbitkan peraturan mengenai penggunaan anggaran desa berkaitan dengan kegiatan musyarawah desa untuk dapat menggunakan anggaran operasional sebesar 3 persen.
“Bagaimana kita juga melakukan ini tapi duitnya nggak ada. Kita buat surat edaran lagi. Boleh pakai dana desa dari operasional 3 persen,” tutup Yandri. (GIB)
Tidak ada komentar