Anggota Komisi IV DPR RI Riyono Caping. Foto: IstimewaTODAYNEWS.ID – Anggota Komisi IV DPR RI Riyono Caping, menilai kerusakan hutan akibat bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat terdampak.
Pasalnya, lebih dari 900 orang dinyatakan meninggal dunia dan sekitar 300an lainnya masih belum ditemukan sampai kini.
Terlebih, kerugian ekologis, infrastruktur, dan harta benda diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah, sementara biaya evakuasi dan rekonstruksi bisa mencapai ratusan triliun.
Karena itu, Riyono menyebut bahwa bencana ini dianggap sebagai akibat dari rusaknya ekosistem hutan dan lingkungan di kawasan terdampak sehingga memicu bencana ekologis skala besar.
“Kerusakan hutan dan kawasan pemanfaatannya sudah sangat parah. Lahan hutan sudah seperti lapangan sepak bola yang bisa ‘dipermainkan’ oleh siapa saja. Faktanya, hutan kita berubah dari pelindung manusia menjadi monster dan ancaman bencana yang mematikan manusia,” ujar Riyono pada Kamis (11/12/2025).
Ia pun menambahkan bahwa munculnya aksi tagar “beli hutan” di media sosial oleh netizen merupakan bentuk ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah dalam pengelolaan hutan.
“Ini merupakan bentuk sindiran keras sekaligus gambaran ketidakpercayaan rakyat terhadap pengelolaan hutan oleh para pemangku kepentingan, baik sektor kehutanan maupun lingkungan hidup,” ujarnya.
Riyono pun menjelaskan bahwa pembelian atau penguasaan kawasan hutan sebenarnya diatur melalui sejumlah regulasi, mulai dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 mengenai tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban serta tata cara pembayaran penerimaan negara di bidang kehutanan.
“Hingga Peraturan Menteri LHK Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang pedoman penilaian dan penetapan harga jual kawasan hutan,” lanjutnya.
Pembelian hutan kata Riyono, memerlukan Izin Penggunaan Kawasan Hutan (IPKH), penetapan harga oleh Menteri LHK, kewajiban pembayaran tunai dalam rupiah, penggunaan sesuai peruntukan, serta kesediaan mengikuti pengawasan pemerintah.
Lebih lanjut, dokumen yang dibutuhkan juga tidak sedikit, mencakup surat permohonan IPKH, identitas pembeli, rencana penggunaan hutan, dokumen lingkungan, serta dokumen pendukung lain yang dipersyaratkan.
“Proses pembeliannya pun berlapis, mulai dari pengajuan permohonan, penilaian kawasan oleh tim ahli, penetapan harga, pembayaran, hingga penerbitan IPKH,” tambahnya.
Untuk itu, Riyono menegaskan bahwa seluruh prosedur tersebut membutuhkan waktu dan tidak mudah untuk dilakukan.
“Aksi beli hutan oleh para netizen sebenarnya adalah warning kepada para pejabat terkait untuk menjaga hutan dengan sungguh-sungguh. Ini sindiran soal rasa keputusasaan rakyat akibat kerusakan parah di Aceh dan Sumatera,” tegasnya.