TODAYNEWS.ID – Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil, menyoroti persoalan mafia pajak dalam uji kelayakan dan kepatutan Calon Hakim Agung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
Nasir menekankan perlunya independensi hakim dalam mengawali kasus-kasus perpajakan yang menyangkut kepentingan bangsa.
Menurutnya rentang waktu pengalaman calon Hakim Agung yang baru enam tahun menjabat sebagai hakim di Pengadilan Pajak itu relatif singkat, sehingga potensi bias kepentingan dari Kementerian Keuangan masih bisa terjadi.
“Dibutuhkan independensi hakim, sehingga tidak mudah diintervensi dalam kasus-kasus perpajakan. Pajak itu adalah jiwa bangsa, dan mafia pajak bisa mematikan jiwa bangsa,” ujar Nasir.
Nasir kemudian memunculkan fenomena mafia pajak dengan teori kontrak sosial, yang menurutnya memberi legitimasi kepada penguasa sekaligus mendorong terbentuknya masyarakat yang taat hukum. Namun, praktik mafia pajak justru merusak legitimasi tersebut.
Ia mencontohkan kasus Gayus Tambunan dan Rafael Alun Trisambodo sebagai bukti masih adanya aktor-aktor mafia pajak yang menimbulkan keraguan masyarakat terhadap integritas sektor perpajakan.
“Masyarakat dulu dikejutkan oleh Gayus Tambunan, lalu belakangan Rafael Alun. Jangan-jangan masih banyak ‘Gayus’ lain di sana, hanya saja belum apes,” kata Nasir.
Politisi Fraksi PKS itu juga melihat potensi pajak nasional yang sesungguhnya. Menurutnya, jangan sampai potensi penerimaan pajak yang besar justru tidak tercatat penuh karena sebagian menjadi mafia bancakan.
“Jangan-jangan sebenarnya kita punya potensi pajak 10, tapi hanya ditulis 3 atau 5, sementara sisanya jadi bancakan,” tegasnya.
Selain itu, Nasir juga menyoroti kebijakan tax amnesty yang menurutnya menunjukkan kegagalan negara dalam menggali potensi pajak secara optimal. Ia juga menyinggung praktik penghindaran pajak melalui penyimpanan dana di luar negeri seperti dalam Panama Papers.
Tak hanya di tingkat nasional, permasalahan perpajakan di daerah juga dibahas. Ia mencontohkan banyak daerah kaya tambang justru tidak menikmati hasil pajak karena Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan terdaftar di Jakarta.
“Daerah hanya dapat ampasnya saja. Ini tidak adil bagi fiskal daerah,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Nasir menekankan tanggung jawab moral calon Hakim Agung dalam menjaga keadilan.
“Keputusan harus berdasarkan hukum dan keadilan, bukan sekedar peraturan perundang-undangan. Pajak bukan bikin bingung atau bikin bangkrut, tapi harus jadi instrumen menyejahterakan rakyat,” tutupnya.
Tidak ada komentar