Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief. Foto: IstimewaTODAYNEWS.ID – Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief, menilai alokasi anggaran Rp 50 miliar dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek) untuk penanganan bencana di Sumatera pada sektor pendidikan masih jauh dari mencukupi.
Ia meminta pemerintah menaikkan anggaran tersebut hingga 10 kali lipat agar sesuai dengan skala kebutuhan di tiga provinsi terdampak.
“Saya cukup kaget ketika mendengar bantuan yang dikeluarkan hanya Rp 50 miliar. Untuk bencana sebesar ini, anggaran itu sangat kecil. Saya sepakat jika dinaikkan minimal 10 kali lipat, karena cakupannya mencakup tiga provinsi dan sejumlah perguruan tinggi yang juga terdampak,” ujar Habib Syarief dalam rapat Komisi X DPR dengan Kemendikti Saintek, Senin (8/12/2025).
Habib Syarief menyebut kondisi di lapangan masih sangat darurat, terutama terkait akses air bersih dan sanitasi. Menurutnya, teknologi penyaringan seperti ICB dan green ultrafiltration baru mampu menjangkau sekitar 20 persen wilayah terdampak.
“Kami mendapat laporan bahwa banyak masyarakat terpaksa meminum air banjir demi menyambung hidup. Ini situasi sangat berbahaya. Air bersih layanan dasar yang tidak bisa ditunda, termasuk untuk fasilitas kesehatan, posko, dapur umum, dan perguruan tinggi terdampak,” tegasnya.
Legislator Fraksi PKB itu juga meminta penguatan dapur umum yang saat ini sebagian besar masih bergantung pada lembaga kemanusiaan.
Selain itu, ia menilai kebutuhan pendampingan psikologis bagi warga terdampak sangat mendesak. Trauma bencana, katanya, berlangsung panjang dan bahkan bisa lebih dari satu tahun.
“Kami menerima laporan bahwa trauma masyarakat sudah mencapai tingkat berat. Bahkan ada warga yang merasa tidak lagi memiliki harapan hidup. Ini alarm serius bagi pemerintah,” ujarnya.
Habib Syarief juga mendorong pemberian beasiswa darurat serta pembebasan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa di wilayah bencana.
“Untuk tahun ini, mahasiswa di daerah bencana harus dibebaskan dari UKT. Ini bukan situasi normal,” katanya.
Berdasarkan data Kemendikti Saintek, terdapat 60 perguruan tinggi yang terdampak banjir dan longsor di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Aceh menjadi daerah dengan jumlah perguruan tinggi terdampak terbanyak, yaitu 31 kampus. Di Sumatera Utara terdapat 14 kampus terdampak dan di Sumatera Barat sebanyak 15 kampus.
Sebagian besar kegiatan belajar mengajar terhenti akibat akses terputus dan lokasi kampus terdampak bencana. “Banyak fasilitas pembelajaran seperti komputer dan laptop yang rusak. Fasilitas penunjang seperti laboratorium dan lapangan juga banyak yang ambruk,” kata Habib Syarief.
Untuk jangka panjang, ia menilai perlu integrasi kurikulum kebencanaan agar dunia pendidikan lebih siap menghadapi situasi serupa.
Ia mengapresiasi peran BRIN dalam menyediakan data saintifik kebencanaan, namun menekankan perlunya pusat kajian dan laboratorium kebencanaan terpadu lintas kementerian.