TODAYNEWS.ID – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menanggapi soal pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto oleh Presiden Prabowo Subianto yang kemudian setujui DPR RI.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi, menilai bahwa keputusan ini berpotensi melemahkan konsistensi penegakan hukum di Indonesia.
“PSHK menilai pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai langkah yang berpotensi melemahkan konsistensi penegakan hukum di Indonesia, kendati memiliki dasar konstitusional,” kata Fajri dalam keterangan yang diterima, Sabtu (2/8/2025).
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Tom Lembong, divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi impor gula. Sementara Hasto Kristiyanto, dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara dalam kasus suap terhadap eks Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan.
Fajri menjelaskan, meski dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberikan abolisi dan amnesti dengan mempertimbangkan nasihat DPR, dan kewenangan ini juga diatur lebih lanjut dalam UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi.
“Namun, pemberian abolisi dan amnesti dalam perkara yang sarat muatan politik, seperti kasus yang menimpa Tom Lembong, dan dugaan tindak pidana korupsi, seperti kasus Hasto Kristiyanto, menimbulkan kekhawatiran serius,” sambungnya.
PSHK juga menilai, bahwa pemberian abolisi dan amnesti pada tersangka kasus korupsi merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
“Penghapusan tuntutan dan pengampunan hukuman semacam ini dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum, khususnya dalam kasus korupsi yang seharusnya diproses melalui mekanisme peradilan yang independen,” bebernya.
Lebih lanjut, kata Fajri, PSHK memandang turut campurnya para elite politik dalam suatu proses hukum, membuat kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum akan semakin tergerus.
“Penghormatan terhadap proses hukum merupakan pilar penting negara hukum. Segala bentuk intervensi politik yang menghentikan atau meringankan proses hukum, meskipun konstitusional, berisiko merusak prinsip persamaan di hadapan hukum atau equality before the law,” tegasnya.
Oleh karena itu, PSHK kata Fajri, mendesak Presiden dan DPR, pertama, untuk menjelaskan pertimbangan dan tujuan pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden dan pertimbangan resmi DPR mengenai persetujuan atas abolisi dan amnesti tersebut kepada publik secara transparan.
Kedua, menjamin bahwa langkah ini tidak akan mengganggu independensi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus korupsi di masa depan.
“Dan ketiga, menegaskan komitmen Presiden dan DPR terhadap upaya pemberantasan korupsi dan penguatan proses peradilan yang independen dan tidak memihak,” tukasnya.
Terakhir, PSHK menilai bahwa pemberian abolisi dan amnesti bukan sekadar keputusan politik, tetapi juga pengujian terhadap komitmen negara dalam menegakkan prinsip-prinsip hukum yang adil dan tidak diskriminatif.
Tidak ada komentar