TODAYNEWS.ID – Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) menyoroti gejolak sosial yang terjadi di sejumlah daerah sebagai dampak dari kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) telah menimbulkan keresahan dan kegaduhan masyarakat.
“Kami minta pemerintah untuk membatalkan semua pungutan yang memberatkan rakyat, baik di pusat maupun daerah,” kata Ketua Umum DNIKS 2024–2029, H.A Effendy Choirie dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (16/8/2025).
Gus Choi sapaan akrabnya, menila kebijakan seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan semangat kesejahteraan untuk masyarakat.
Sebab itu, ia mendesak pemerintah untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) sebagai tulang punggung penerimaan negara.
“Lalu kembangkan alternatif fiskal berbasis solidaritas sosial, misalnya zakat, infak, sedekah, hibah, filantropi, dan CSR,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat transparansi dan akuntabilitas. Rakyat berhak tahu kemana uang mereka digunakan.
Bangun ruang dialog dengan masyarakat sebelum merumuskan kebijakan fiskal. “Pasalnya keresahan sosial bisa bertransformasi menjadi gerakan perlawanan yang meluas,” terangnya lagi.
Kasus di Kabupaten Pati di Jawa Tengah, kata Gus Choi, menjadi bukti nyata bahwa rakyat menolak keras pungutan yang dianggap sewenang-wenang.
Aksi demonstrasi tersebut mencerminkan bahwa ketidakadilan fiskal bisa langsung memicu gejolak sosial.
Berdasarkan catatan, kenaikkan PBB untuk Kabupaten Pati mencapai 250 persen, kemudian Kabupaten Jombang sekitar 400 persen. Lalu, Kota Cirebon 1000 persen, dan Kota Semarang sekitar 441 persen.
Seharusnya, pemerintah menitikberatkan kesejahteraan rakyat berlandaskan amanat utama konstitusi Indonesia.
Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian disusun untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Namun, realitas di lapangan menunjukkan banyak kebijakan fiskal justru menambah beban masyarakat. Pungutan baru—baik berupa pajak, retribusi, maupun iuran—sering kali tidak proporsional dengan daya dukung ekonomi rakyat kecil,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Maret 2025 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 23,85 juta jiwa (8,47 persen)—angka terendah sepanjang sejarah modern Indonesia.
Kemiskinan ekstrem bahkan menurun menjadi 0,85 persen atau sekitar 2,38 juta orang, dengan ketimpangan (Gini Ratio) juga membaik dari 0,381 menjadi 0,375.
Meski demikian, keberhasilan statistik ini belum menjawab keresahan rakyat. Pertumbuhan penerimaan pajak nasional tahun 2023 mencapai Rp1.869 triliun (naik 8,9 persen dari tahun sebelumnya). Di tingkat daerah, pajak dan retribusi menjadi tumpuan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa retribusi daerah justru berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal, karena membebani masyarakat tanpa menghasilkan pembangunan produktif.
Angka kemiskinan di Indonesia memang mengalami penurunan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan pada Maret 2025.
Persentase penduduk miskin turun menjadi 8,47 persen, atau turun 0,10 persen poin dibandingkan September 2024 dan 0,56 persen poin dibandingkan Maret 2024.
Meski jumlah penduduk miskin juga menurun menjadi 23,85 juta orang, turun sekitar 210 ribu orang dari periode sebelumnya. Namun rakyat tetap menolak pungutan yang menekan.
Berbagai pungutan yang memberatkan berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan sejarah telah memberi banyak pelajaran.
Sebut saja, Revolusi Prancis (1789): rakyat bangkit akibat pajak menindas dan ketidakadilan ekonomi. Lalu, Reformasi Indonesia (1998): dipicu krisis ekonomi, kenaikan harga, dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Aksi Gejayan di Yogyakarta (2019) dan Omnibus Law (2020): bukti bahwa rakyat, terutama generasi muda, berani menentang kebijakan yang menekan.
Jika pemerintah tetap memaksakan pungutan, keresahan rakyat yang kini masih lokal bisa berkembang menjadi gelombang nasional. Dalam situasi ekstrem, hal ini dapat berubah menjadi revolusi sosial.
Data telah memperlihatkan bahwa ada dominasi pajak nasional, sementara kontribusi retribusi daerah kecil tetapi efek negatifnya besar bagi ekonomi lokal.
Karena itu dibutukan alternatif fiskal berbasis solidaritas sosial. Pasalnya, Indonesia memiliki potensi sebesar dari sumber dana non-pajak:
Potensi alternatif fiskal berbasis solidaritas sosial, misalnya CSR BUMN & Swasta diprediksi mencapai Rp100 triliun/tahun, lalu potensi Zakat Nasional sekitar Rp 327 triliun/tahun, kemudian Infak & Sedekah diperkirakan Rp70 triliun/tahun.
“Jika dimaksimalkan, sumber ini mampu menopang pembangunan sosial tanpa membebani rakyat miskin,” jelasnya.
Pemerintah harus belajar dari sejarah. Jika suara rakyat diabaikan, demonstrasi akan menjelma menjadi revolusi sosial.
DNIKS mengingatkan segera batalkan pungutan yang memberatkan rakyat dan dengarkan suara rakyat, sebelum terlambat, sebagaimana pesan Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”
Sejarah membuktikan bahwa ketidakadilan fiskal selalu berakhir dengan gejolak besar. Kini, pilihan ada di tangan pemerintah: berpihak kepada rakyat, atau berhadapan dengan rakyat.