TODAYNEWS.ID – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) membeberkan lima poin argumentasi dasar perihal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Peneliti senior Perludem, Heroik Mutaqin Pratama membeberkan lima poin alasan gugatan yang diajukan Perludem sebelum diputus oleh MK terkait pemilu nasional dan pemilu daerah.
Alasan pertama yakni, Perludem menilai, bahwa perlu adanya poin perbaikan atas Undang-Undang Pemilu lantaran sejak tahun 2019 hingga 2024 belum pernah direvisi.
“Kedua adalah mengenai irisan atau tumpang tindih dari tahapan pemilu, lalu kemudian ada juga desain kelembagaan pemilu, pelembagaan parpol, dan perilaku pemilih,” ungkap Heroik dalam seminar daring yang disiarkan melalui YouTube Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Sabtu, (28/06/2025).
Di sisi lain Heroik menyebut bahwa MK menilai, irisan dan tumpang tindih dalam aturan pelaksanaan pemilu dianggap menimbulkan kompleksitas masalah tata kelola penyelenggaraan pemilu.
Adapun poin ketiga yakni terkait beban tugas penyelengara yang harus menghadapi kompleksitas masalah yakni melakukan proses perselisihan hasil pemilu nasional dan namun juga bersamaan harus menyiapkan persiapan tahapan pemilu daerah.
“Artinya ada dua fokus yang terbagi pada penyelenggara pemilu kita dalam menjalankan pileg, pilpres yang belum tuntas karena ada proses verifikasi di MK,” terang Heroik.
“Sehingga di dalam pertimbangan hukumnya MK menyebutkan, irisan tahapan ini akan mengganggu kualitas dari tata kelola pemilu kita dan kualitas dari demokrasi kita,” sambung Heroik.
Kemudian pada poin ke empat, lanjut Heroik, pertimbangan MK memutuskan untuk memisahkan Pemilu nasional dan daerah yaitu soal desain pemilu yang memiliki 5 surat suara membingungkan para pemilih.
Selain itu, pemilu nasional dan Pemilu Daerah yang masa waktu nya berdekatan juga berdampak menimbulkan sulitnya pemilih atau rakyat melakukan evaluasi kepada kinerja pemerintah level nasional.
“MK juga menyebutkan, isu lokal atau isu mengenai program pembangunan daerah tenggelam dengan isu nasional. Dan yang terakhir adalah adanya kejenuhan dan kesulitan pemilih,” kata Heroik.
Ia menuturkan, poin terakhir yakni munculnya kejenuhan dari para pemilih atas waktu pemilu dan juga surat suara yang berisi ratusan nama telah membuat kesulitan untuk mengenal nama calon yang akan dipilih.
Ia menambahkan, kondisi itupun telah menimbulkan menurunnya angka tingkat partisipasi pemilih dari pemilu nasional ke pemilu daerah sebesar kurang lebih 11 persen.
“Terakhir walaupun tidak disebutkan dalam pertimbangan hukumnya tetapi desain keserentakan seperti ini, adanya split ticket voting. Para pemilih memilih partai A di level DPR, tapi di level kabupaten/kota memilih partai B dan C,” tandasnya.
Tidak ada komentar