TODAYNEWS.ID – Aksi pembakaran Gedung Grahadi dan Mapolsek Tegalsari yang berstatus cagar budaya mendapat kecaman keras dari pegiat sejarah, Kuncarsono Prasetyo.
Dia menilai tindakan tersebut bukan lagi bagian dari penyampaian aspirasi, melainkan murni tindakan anarkis.
“Ini sudah jadi perhatian internasional karena menyangkut perusakan situs bersejarah. Bahkan di Kediri, ada artefak berusia lebih dari seribu tahun yang ikut hancur,” ujar Kuncarsono saat dihubungi, Minggu (31/8).
Menurutnya, aparat keamanan harus mampu membedakan demonstrasi dengan kerusuhan. Jika unjuk rasa sudah bergeser menjadi perusakan fasilitas publik, apalagi cagar budaya, maka hal itu jelas masuk ranah pidana. “Dalam Undang-Undang Cagar Budaya, sekadar mengecat tanpa izin saja bisa kena sanksi, apalagi kalau sampai menghancurkan. Aparat seharusnya bisa langsung bertindak,” tegasnya.
Kuncarsono juga menyoroti kerugian besar yang ditimbulkan. Ia mencontohkan bangunan sayap Gedung Grahadi yang usianya lebih tua dari gedung utama dengan gaya arsitektur Prancis abad ke-18. “Bangunan itu berusia hampir dua setengah abad. Nilai historisnya tidak bisa digantikan meski direnovasi. Kalau rusak, keasliannya hilang,” jelasnya.
Ia menekankan, cagar budaya bukan hanya milik daerah, tetapi juga warisan dunia. “Dalam kondisi perang pun, situs budaya biasanya tidak disentuh. Ironisnya, justru di masa damai kita sendiri yang merusaknya. Itu sebabnya dunia ikut menyoroti,” katanya.
Kuncarsono mengingatkan, jika aparat tidak segera bersikap tegas, kerusuhan serupa berpotensi meluas ke objek vital lain.
“Harus dipisahkan dengan tegas antara demonstrasi dan amuk massa. Kalau demo, aparat bisa bersikap hati-hati. Tapi kalau sudah mengarah pada perusakan cagar budaya, tidak boleh ada toleransi,” pungkasnya.