Pembangunan candi bentar di kawasan Gedung Sate, Kota Bandung. (Istimewa) TODAYNEWS.ID – Pembangunan gapura berornamen Candi Bentar di kawasan Gedung Sate, Kantor Gubernur Jawa Barat menjadi sorotan publik belakangan ini. Berbagai kalangan bahkan ramai-ramai mengkritik pembangunan gapura candi yang digagas oleh Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi.
Kehadiran ornamen berciri arsitektur Cirebon ini dianggap tidak sesuai dengan Gedung Sate yang merupakan bangunan khas arsitektur eropa bergaya art deco. Terlebih, jumlah anggaran yang digunakan untuk membangun gapura tersebut cukup memakan anggaran besar yakni Rp 3,9 miliar.
Namun demikian, tidak bagi pegiat budaya Cirebon, Raden Chaidir Susilaningrat. Dirinya justru menilai bahwa pembangunan gapura candi itu memperkaya identitas visual Gedung Sate yang sejak awal memadukan unsur Eropa dan kearifan lokal Nusantara.
Raden Chaidir Susilaningrat menyampaikan apresiasinya terhadap kehadiran Candi Bentar sebagai wajah baru gerbang Gedung Sate. Menurutnya, Gedung Sate memang memiliki karakter arsitektur yang terbuka terhadap unsur budaya lokal.
“Kalau melihat arsitektur Gedung Sate, memang ada upaya menyerap kearifan lokal. Saya senang karena Candi Bentar yang kini menjadi wajah baru Gedung Sate sangat identik dengan budaya Cirebon,” ujarnya.
Selain itu, Chaidir menilai, langkah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menghadirkan ornamen Candi Bentar merupakan bentuk penghargaan terhadap keragaman budaya di Jawa Barat. Ia menegaskan bahwa wilayah Jawa Barat tidak hanya dihuni budaya Sunda, tetapi juga budaya Cirebonan dan Betawi.
“Representasi budaya Cirebon patut mendapat ruang yang lebih luas,” tegasnya.
Ia menjelaskan, Candi Bentar yang banyak ditemui di keraton-keraton Cirebon merupakan karya arsitek Majapahit, Ki Ageng Sepat, yang sarat filosofi. Susunan bata yang mengerucut ke atas melambangkan struktur sosial masyarakat Jawa: semakin tinggi posisi seseorang, semakin besar tuntutan moral dan spiritualnya.
“Untuk menjadi pemimpin harus unggul secara jasmani dan rohani. Dalam falsafah kepemimpinan Jawa tidak dikenal adanya ‘matahari kembar’,” tambahnya.
Selain itu, Candi Bentar juga dipandang sebagai simbol tahapan pemahaman agama. Semakin sedikit seseorang terikat pada urusan dunia, semakin dekat ia kepada Tuhan.
“Gaya arsitektur keraton di Cirebon banyak mengandung filsafat keislaman,” jelasnya.
Akan tetapi, meski dirinya menyambut baik pembangunan gapura tersebut, Chaidir menyayangkan masih minimnya pelibatan pegiat budaya Cirebon dalam program kebudayaan tingkat provinsi. Menurutnya, hal ini sering membuat perkembangan budaya Cirebon tertinggal.
“Kami berharap ke depan ada ruang diskusi bersama pegiat budaya agar pelestarian budaya Cirebon berjalan lebih baik. Selain arsitektur, kesenian Cirebon juga harus mendapat perhatian di tingkat Jawa Barat,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Barat, Mas Adi Komar, membenarkan revitalisasi gapura sebagai bagian dari upaya memperkuat karakter visual Gedung Sate sebagai ikon provinsi.
“Sebagai ikon Jawa Barat, perlu representasi visual yang lebih kuat terkait kekhasan daerah,” ujarnya.
Adi menjelaskan bahwa pagar Gedung Sate telah lama tidak diperbarui dan beberapa bagian mengalami kerusakan akibat aksi unjuk rasa. Revitalisasi pun dimasukkan ke APBD Perubahan, termasuk pembangunan gapura bergaya Candi Bentar.
Ia menegaskan bahwa elemen Candi Bentar bukan hal baru bagi Gedung Sate.
“Desainnya mengangkat arsitektur Candi Bentar yang memang sudah menjadi bagian dari bangunan Gedung Sate sejak lama,” jelasnya.
Penggabungan unsur tradisi dan modernitas disebut sebagai penanda bahwa Jawa Barat merupakan provinsi yang maju, inovatif, namun tetap menjunjung akar budaya yang kuat.
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi beralasan bahwa bagian pagar bukan bagian dari cagar budaya. Namun untuk pembangunannya berdasarkan analisis dan kajian para ahli.
“Disusun berdasarkan analisis yang ahli, orang teknik sipil yang menyusunnya,” kata pria yang karib disapa KDM itu.
Dedi pun bicara tentang peradaban Sunda, yang peninggalan batunya tinggal candi. Sementara di zaman Prabu Siliwangi hampir tidak ada peninggalan bangunan. Ada pun peninggalan bangunan yang masih ada tersisa adalah budaya Kacirebonan.
“Gapura itu berasal dari nilai dan budaya Kacirebonan yang mengadopsi dari kebudayaan Mataram dan Majapahit dan disebut Candi Bentar,” singkatnya. ***