TODAYNEWS.ID – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care (HAC) dan Haidar Alwi Institute (HAI), menyampaikan bahwa saat ini dunia tidak sedang berjalan sebagaimana dalam dua dekade lalu.
Menurutnya, Tatanan ekonomi global yang selama ini bertumpu pada dolar Amerika Serikat perlahan mulai bergeser. Dan yang lebih mengkhawatirkan kata dia, pergeseran itu dilakukan bukan dengan letupan konflik bersenjata, tetapi dengan kalkulasi ekonomi yang dingin dan sistematis yang dimotori oleh Tiongkok.
Dimana pada 26 Mei 2025 lalu, pemerintah Tiongkok menginstruksikan kepada seluruh perbankan nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar dalam transaksi lintas negara.
Dalam peraturan terbarunya, 40 persen dari seluruh transaksi internasional wajib menggunakan yuan, atau naik dari sebelumnya 25 persen .
“Hari itu mungkin akan dikenang sebagai salah satu titik balik paling menentukan dalam sejarah keuangan dunia. Tanpa publikasi besar, tanpa konferensi pers, pemerintah Tiongkok menginstruksikan kepada seluruh perbankan nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar,”katanya.
Lebih jauh Haidar Alwi menyebut, keputusan ini bukan hanya keputusan yang tampak teknis belaka, namun membawa dampak strategis besar terhadap stabilitas sistem keuangan global yang selama ini berporos pada mata uang Amerika.
Perlu dicatat, langkah ini kata dia tidak berdiri sendiri. Tiongkok secara konsisten membangun ekosistem keuangan baru yang terpisah dari dominasi Barat.
“Mereka memiliki sistem pembayaran lintas negara bernama CIPS yang kini digunakan oleh lebih dari 60 negara. Transaksinya meningkat lebih dari 27 persen dalam setahun terakhir. Mereka juga telah mengembangkan mata uang digital resmi, e-CNY, berbasis teknologi blockchain, yang kini mulai dipakai dalam penyelesaian kontrak perdagangan dengan negara-negara Afrika, Timur Tengah, hingga Asia Tenggara,”ujarnya.
“Langkah ini membuktikan satu hal, Tiongkok tidak hanya menantang hegemoni dolar, mereka sedang membangun sistem keuangan dunia versi mereka sendiri. Dan yang membuatnya semakin menarik, atau mengkhawatirkan, adalah bahwa sistem itu lebih cepat, lebih murah, dan tidak terikat pada tekanan politik atau sanksi dari negara lain. Inilah bentuk baru pemberontakan finansial global yang dilakukan secara tenang, tapi mematikan,” imbuh Haidar Alwi.
Amerika mungkin masih memegang kekuatan ekonomi terbesar, namun kontrolnya atas arus perdagangan internasional melalui dolar kini menghadapi ancaman eksistensial. Negara-negara yang selama ini menjadi target sanksi AS, seperti Iran dan Venezuela, sudah mulai memindahkan jalur perdagangan mereka ke sistem digital milik Beijing.
Negara-negara berkembang lain pun ikut tertarik, karena sistem baru ini menawarkan kejelasan, kecepatan, dan yang terpenting, otonomi dari tekanan geopolitik Washington.
Untuk itu Hadiri berharap, sebagai bangsa yang sedang berjuang untuk memperkuat posisi di kancah global, Indonesia tidak boleh sekadar menjadi penonton dalam dinamika ini. Justru hal ini kata Haidar harus menjadi momen penting untuk menentukan posisi Indonesia di masa depan.
“Apakah tetap menjadi pengguna setia sistem lama yang mulai melemah, atau mulai beradaptasi dengan arsitektur baru yang tengah dibangun?,”ungkapnya.
Dimana posisi Indonesia dalam peta rekonstruksi ekonomi global ini?
Menurut Haidar Alwi, Indonesia memiliki tiga agenda strategis yang harus segera didefinisikan secara tegas, di antaranya:
Dimana Indonesia selama ini terlalu tergantung pada sistem SWIFT dan lembaga keuangan Barat dalam hal pembiayaan dan pembayaran proyek strategis. Jika tren global terus mengarah pada diversifikasi sistem keuangan, maka Indonesia perlu mulai membangun sistem pembayaran lintas negara berbasis rupiah, atau paling tidak, menjalin kerja sama bilateral dengan sistem keuangan alternatif seperti CIPS dan e-CNY.
“Bayangkan proyek infrastruktur nasional seperti tol, pelabuhan, hingga pembangkit listrik, bisa dibiayai dan dibayar lintas negara tanpa harus terikat dolar. Ini akan memberikan ruang fiskal yang jauh lebih fleksibel dan memperkuat posisi negosiasi Indonesia di mata mitra dagang luar negeri,”ujarnya.
Jika Tiongkok telah sukses membangun mata uang digital resmi mereka dan mengujicobakan penggunaannya di zona perdagangan strategis, maka Indonesia tidak boleh tertinggal. Rupiah digital harus segera dikembangkan dengan cakupan prioritas, integrasi pembayaran untuk perdagangan antar-ASEAN.
Dengan lebih dari 650 juta populasi dan nilai perdagangan regional yang terus meningkat, ASEAN dapat menjadi kawasan percontohan sistem pembayaran digital lintas negara yang tidak bergantung pada dolar. Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di kawasan, harus menjadi penggeraknya.
Sampai hari ini, sebagian besar cadangan devisa Indonesia masih tersimpan dalam bentuk obligasi pemerintah AS. Namun dengan penurunan permintaan terhadap obligasi tersebut (menurut Bloomberg, kepemilikan institusi Asia atas utang AS turun 12 persen hanya dalam kuartal pertama 2025), maka saatnya Indonesia mempertimbangkan diversifikasi cadangan devisa ke aset lain, termasuk mata uang mitra dagang utama yang stabil dan menguntungkan secara jangka panjang.
Lebih dari itu, Indonesia harus mulai membangun kerja sama dengan negara-negara BRICS+, termasuk dalam penyusunan platform harga komoditas yang tidak didominasi dolar. Indonesia adalah salah satu eksportir utama batu bara, nikel, dan CPO. Jika harga komoditas ini bisa dinegosiasikan dalam mata uang selain dolar, maka Indonesia bisa mendapatkan ruang ekonomi yang lebih adil dan berdaulat.
Banyak negara berkembang kini mulai bangkit karena melihat sistem keuangan global lama tidak lagi menjamin kestabilan dan kedaulatan. Haidar Alwi menegaskan, Indonesia harus menjadi negara yang proaktif dalam membangun posisi, bukan hanya bereaksi ketika tekanan datang dari luar.
“Kita tidak bisa terus jadi pengguna sistem yang dirancang orang lain, kita harus punya alat kita sendiri,” tegas Haidar Alwi.
Dalam menghadapi perubahan ini, Indonesia membutuhkan keberanian politik, kecerdasan strategis, dan kesiapan infrastruktur digital untuk bisa bersaing dalam sistem yang semakin multipolar.
“Ini bukan soal mengikuti China atau meninggalkan Amerika. Ini soal membangun ruang manuver nasional yang luas dalam dunia yang tidak lagi serba tunggal,”ucapnya.
Haidar Alwi mengingatkan bahwa dominasi dolar bukanlah hukum alam. Itu kata dia adalah hasil dari struktur, kekuasaan, dan narasi yang selama ini dipertahankan oleh sistem yang didesain Amerika. Akan tetapi, saat negara-negara lain membangun sistem yang berbeda dan berhasil, maka dominasi itu mulai luntur.
“Indonesia harus sadar bahwa kita tengah berada di titik persimpangan besar. Dunia sedang menulis ulang aturan permainannya. Yang dulu kuat belum tentu tetap memimpin. Yang dulu pengikut, bisa jadi pionir jika berani berpikir dan bertindak ke depan,”kata Haidar.
“Saat yuan naik panggung dan dolar mulai turun perlahan, kita punya dua pilihan, ikut membentuk panggung baru, atau hanya menjadi penonton setia yang ditinggal sejarah. Dan Indonesia terlalu besar untuk sekadar menjadi penonton,”tandasnya.***