Anggota Komisi VI DPR RI Rivqy Abdul Halim. Foto: IstimewaTODAYNEWS.ID – Anggota Komisi VI DPR RI, Rivqy Abdul Halim, menyoroti rencana Danantara yang akan menggelontorkan dana sebesar Rp20 triliun untuk investasi di sektor peternakan ayam broiler dan petelur.
Menurutnya, kebijakan tersebut perlu dikaji secara kritis agar tidak mengancam keberlangsungan peternak mandiri, khususnya peternak ayam petelur.
“Ini menjadi keresahan di kalangan peternak, terutama peternak telur mandiri. Mereka khawatir akan terdesak oleh peternakan besar yang akan dimodali Danantara,” ujar Rivqy di Jakarta, Jumat (14/11/2025).
Rivqy pun mengingatkan agar pemerintah belajar dari pengalaman masa lalu ketika masuknya investasi besar di sektor ayam pedaging justru membuat peternak kecil gulung tikar.
“Dulu, ketika investasi besar masuk ke ayam pedaging, hampir semua peternak kecil ambruk. Hanya sedikit yang mampu bertahan, itu pun karena memiliki pasar langsung. Selebihnya berubah menjadi pekerja bagi perusahaan besar—mulai dari bibit, pakan, hingga vaksin yang dikendalikan oleh korporasi. Margin keuntungannya pun sangat kecil,” tegasnya.
Lebih lanjut, Rivqy menjelaskan bahwa peternak ayam petelur (petelur) relatif lebih mampu bertahan karena sebagian besar masih dikelola secara mandiri. Meski begitu, persoalan monopoli bibit dan pakan masih menjadi tantangan serius.
“Lapisan peternak ini sebenarnya menjadi tulang punggung kemandirian pangan protein hewani kita. Tapi kalau Danantara ikut masuk ke sektor ini tanpa perhitungan matang, dua-duanya bisa menggulung tikar. Karena itu, kebijakan ini perlu dikaji ulang agar tidak memungkinkan peternak mandiri,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rivqy juga meminta agar kebijakan investasi diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan mendasar di sektor peternakan, bukan sekadar menambah pemain besar.
“Kebijakan ini seharusnya fokus pada tiga hal utama, pertama, memperkuat sektor pembibitan (DOC) yang saat ini sulit diakses. Kedua, Intervensi terhadap ketersedian pakan ternak yang terjangkau dan berkualitas, karena sementara ini mahal dan sulit didapat. Ketiga, jika ingin masuk ke produksi, sebaiknya diarahkan ke provinsi yang masih defisit produksi, bukan yang sudah surplus,” sarannya.
Untuk itu, Legislator Fraksi PKB ini mengingatkan bahwa produksi telur nasional saat ini sebenarnya sudah surplus.
“Data menunjukkan, produksi telur kita mencapai 6,5 juta ton, sementara kebutuhan nasional hanya sekitar 6 juta ton. Jadi arah investasi harus tepat, agar tidak menimbulkan kelebihan pasokan yang justru merugikan peternak kecil,” tutupnya.