Oleh: Rani Badri Kalianda – Founder & Facilitator Soul Of Speaking
Di tengah dunia yang gemar mengukur segalanya dengan angka, Paus Fransiskus datang seperti mata air di padang gurun. Saat banyak pemimpin berlomba membangun mahkota dari emas, ia justru memilih mahkota dari kerendahan hati.
Ketika dunia terpikat pada singgasana megah dan simbol status, Fransiskus memilih kursi kayu tua dan sepatu lusuh. Dan dari semua kekayaan yang bisa ia tinggalkan, ia hanya mewariskan 100 Dollar Amerika Serikat. Tapi sejatinya, warisan itu lebih berharga daripada brankas emas Vatikan.
Paus Fransiskus bukan sedang menunjukkan bahwa ia miskin—ia sedang mengajarkan bahwa kekayaan sejati tidak berada di dompet, melainkan di dalam hati.
Lihatlah bagaimana Fransiskus mengawali kepausannya: menolak mobil mewah, memilih tinggal di wisma tamu daripada apartemen kepausan yang megah, dan bahkan lebih suka mencuci kaki para tahanan pada Kamis Putih. Dalam dunia yang gemar menatap ke atas, ia mengarahkan pandangan ke bawah—kepada yang terpinggirkan, terlupakan, dan tak terdengar.
Ia seperti pohon beringin besar yang tidak pernah menyombongkan batangnya, melainkan membiarkan akarnya merambat ke mana-mana, menyentuh tanah, memberi teduh bagi yang letih, dan menjadi tempat berteduh bagi burung-burung yang kelelahan. Kesederhanaan bukanlah pilihan estetika, melainkan pilihan spiritual.
Paus Fransiskus tidak banyak berseru, tapi tindakannya bergaung hingga ke lorong sunyi hati manusia. Ia menjenguk orang sakit, mencium kaki para imigran, memeluk anak-anak yang menderita. Setiap pelukan, setiap ciuman, adalah bahasa kasih yang tak membutuhkan penerjemah. Seperti lilin kecil di ruang gelap, ia tidak mengusir malam, tapi cukup memberi cahaya sehingga Dunia yang dingin oleh ego dan ambisi menjadi menghangat sejenak karena kehadirannya.
Dalam hidup Paus Fransiskus, kita diajak merenung: apakah selama ini kita sibuk mengumpulkan apa yang bisa rusak, dan melupakan yang abadi? Apakah kita terlalu sibuk membeli barang untuk memoles citra, tapi lupa menumbuhkan cinta? Ia seperti membisikkan kepada kita semua: kesederhanaan bukanlah anti kemapanan melainkan proyeksi rasa syukur.
Paus Fransiskus mungkin hanya meninggalkan 100 Dollar secara harfiah. Tapi secara moral dan spiritual, ia meninggalkan warisan miliaran: warisan tentang hidup yang tidak untuk ditimbun, tapi untuk dibagikan; tentang kekuasaan yang bukan untuk mengendalikan, tapi untuk melayani. Warisan itu tidak bisa dimasukkan ke brankas, tidak bisa diukur oleh Forbes, dan tidak akan pernah dilelang di rumah-rumah lelang mewah dunia. Tapi ia hidup dan berkembang di hati orang-orang yang disentuhnya—seperti api kecil yang menyala dari lilin ke lilin lainnya.
Di tengah dunia yang sibuk membangun istana untuk dirinya sendiri, Paus Fransiskus justru membangun jembatan menuju sesama. Ketika banyak pemimpin mengejar kursi yang empuk, ia malah memilih duduk bersama mereka yang tidak punya tempat. Ia bukan pemimpin yang ingin dilayani, melainkan yang hadir untuk melayani. Ia bukan cahaya sorotan, tapi lentera di gang-gang gelap penderitaan umat manusia.
Dan di dunia yang sering kali kehilangan arah, kisah Fransiskus adalah kompas yang menuntun kita pulang—bukan ke rumah mewah, tapi ke hati yang damai. Bukan ke hotel berbintang lima, tapi ke kesadaran bahwa dunia ini akan menjadi lebih baik bila kita lebih dulu mengosongkan ego, sebelum mengisi rekening. Karena sejatinya, kemewahan yang tidak membawa kedamaian batin hanyalah kemasan kosong yang tak pernah benar-benar mengenyangkan jiwa.
Para pemimpin dunia, camkanlah: warisan sejati bukanlah jumlah tanah yang kalian kuasai, bukan kendaraan mewah yang kalian koleksi, bukan pula jam tangan puluhan juta yang kalian pamerkan. Warisan sejati adalah jejak kebaikan yang kalian tinggalkan—seberapa banyak air mata yang kalian hapus, seberapa banyak senyum yang kalian lahirkan, dan seberapa dalam rakyat kalian merasa dipeluk oleh kehadiran kalian. “Jadilah kaya dengan cinta, murah dengan amarah, dan sederhana dengan gaya.”
Jika kita sepakat bahwa kekayaan sejati bukan soal angka, maka kita telah mewarisi semangat Fransiskus. Dan tanpa harus menjadi Paus, kita semua—terutama yang diberikan amanah sebagai pemimpin—bisa menjadi cahaya yang menuntun, tangan yang merangkul, dan pelita kecil yang menghangatkan dunia.
Kita tidak perlu menunggu dunia berubah untuk menjadi pribadi yang membagikan harapan. Mari kita menjadi seperti mata air di tengah gurun: sunyi, sederhana, tapi menghidupkan. Karena pada akhirnya, dunia tidak akan mengingat berapa banyak properti yang kita miliki, tapi berapa banyak hati yang kita sentuh. Seperti Paus Fransiskus—yang tidak meninggalkan warisan kekayaan, tapi meninggalkan kekayaan warisan. Selamat Jalan Paus Fransiscus. (RBK)