(Rani Badri Kalianda – Founder & Facilitator Soul OfSpeaking)
SETIAP tanggal 21 April, negeri ini seolah menyulap dirinyamenjadi taman bunga yang dipenuhi wangi pujian untuk sosokRA Kartini. Pertanyaannya, apakah bunga-bunga itu tumbuhdari tanah perjuangan yang sama? Atau hanya rangkaianplastik yang indah di luar tapi hampa di dalam?
RA Kartini bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalahnyala pelita dalam lorong gelap peradaban. Perempuan yang menulis dengan air mata dan berpikir dengan hati, saat banyakperempuan lain hanya diajari bagaimana diam dan tunduk. Iaberbicara tentang kebebasan berpikir, kemerdekaan jiwa, kesetaraan martabat, dan pendidikan sebagai tanggaperubahan.
Jika kita mau jujur: Apakah perempuan Indonesia hari ini, khususnya di era media sosial, masih meniti jalan yang samadengan jejak perjuangan Kartini? Atau justru melangkah kearah yang berlawanan, dengan kaki berbalut heels mewah tapikehilangan pijakan nilai?
Antara Gincu dan Gagasan: Ketika Panggung Bergeser keMedia Sosial
Saat ini, panggung perempuan tak hanya ada di ruang tamuatau ruang sidang, tapi juga di Instagram, TikTok, danberbagai media sosial lainnya. Sayangnya, panggung ini lebihsering digunakan untuk mempertontonkan kulit daripada isikepala, tas branded daripada isi gagasan, bibir sensual daripada suara pembebasan. Gincu menjadi lebih utamadaripada gagasan, dan citra mengalahkan cinta padaperubahan.
Bahkan sebagian yang dijuluki sosialita dan selebritasmenjelma menjadi simbol modernitas yang glamor tapimiskin kontribusi. Mereka lebih sibuk menjaga followersdaripada mengangkat martabat perempuan yang belum bisasekolah. Mereka berlomba mengoleksi kemewahan, namunmelupakan bahwa masih banyak saudari sebangsa yang dipenjara adat, dipaksa menikah dini, dan kehilangan akses kependidikan. Jika Kartini bisa melihat sosmed kemungkinan Ia akan menangis, bukan karena ia dilupakan, tetapi karena iadipahami setengah hati.
Sesungguhnya! Perempuan masa kini memiliki peluang yang jauh lebih besar dibandingkan masa Kartini—aksespendidikan luas, suara dalam politik memiliki kuota, ruangberkarya tanpa batas. Namun ironisnya, banyak yang justruterjebak dalam cermin digital—cermin yang hanyamemantulkan rupa, bukan makna.
Kartini Bukan Fashion Show, Tapi Revolusi Jiwa
Kartini bukanlah tentang kebaya dan sanggul semata. Iaadalah revolusi jiwa, bukan soal gaya berpakaian, tapi gayaberpikir. Bukan soal menjadi cantik di luar, tapi beraniberbeda dari dalam.
Jika perempuan masa kini ingin berjalan seiring denganKartini, maka yang harus mereka lakukan bukanlah menirugayanya, tetapi menghidupkan semangatnya antara lain:
maksudnya bukan hanya bicara tentang diri sendiri, tapimenyuarakan nasib perempuan lain. Kartini menulis bukanhanya untuk dirinya, tetapi untuk semua perempuan yang tak bisa bersuara. Dalam dunia digital hari ini, perempuanpunya mikrofon global di tangannya—namun suara itujangan hanya digunakan untuk memperbesar ego, tapiuntuk menyuarakan keadilan, empati, dankeberpihakan.
bukan sekadar mengiklankan produk kecantikan tapimembagikan makna kehidupan. Di zaman ini, setiaporang bisa menjadi “influencer”—terutama perempuan.Tapi pengaruh yang bernilai bukan yang menghasilkaniklan semata, melainkan yang menginspirasi danmencerdaskan banyak jiwa.
Kartini tidak punya followers, tapi ia punya pengaruh yang menembus zaman. Jika hari ini kita memiliki audiens, gunakan itu untuk menyampaikan sesuatu yang lebih darisekadar promo, Jika hari ini kita diberi panggung global melalui media sosial, maka ubahlah panggung itu menjadimimbar perubahan. Lantas apa yang seharusnya dilakukanoleh para perempuan:
Jika hari ini Kartini datang dan melihat negeri ini, apa yang ialihat? Perempuan-perempuan kuat, mandiri, yang berkarya?Atau justru perempuan-perempuan yang sibuk menjual citradan lupa pada esensi? Jangan biarkan nama Kartini hanyajadi dekorasi kalender. Jadikan ia cermin bening yang memantulkan kita kembali pada perjuangan sejati. Karenabangsa besar tak hanya lahir dari pembangunan fisik, mempertebal gincu dan mengotak-otak filter di Gawai, tetapidari perempuan-perempuan yang tak hanya memoles wajah,tapi juga memahat sejarah.
Selamat Hari Kartini 21 April 2025. Hidup perempuanIndonesia yang berpikir, mencipta, dan menginspirasi.Kartini belum mati—ia hidup dalam pilihan yang kita ambilhari ini. (RBK)