Oleh: Rani Badri Kalianda – Founder & Facilitator Soul Of Speaking
Dalam dunia digital yang serba cepat, hoax menyebar seperti virus. Banyak yang tergoda menjadi buzzer negatif, mereka menganggapnya sebagai pekerjaan mudah dengan imbalan instan. Tapi tahukah Anda? Dalam jangka panjang, bukan korban hoax yang paling dirugikan—melainkan pembuat dan penyebarnya sendiri. Dari sisi spiritual dan psikologi, efeknya jauh lebih menghancurkan daripada yang terlihat di permukaan.
Bayangkan sebuah ember yang terus diisi air kotor. Itulah jiwa orang yang terus-menerus menyebarkan kebohongan. Setiap hoax yang dibuat dan disebarkan adalah satu noda hitam di hati. Mungkin uang yang diterima terasa manis, tetapi pada akhirnya, ketenangan dan keberkahan hidup mulai menghilang.
Dalam ajaran agama mana pun, kebohongan adalah dosa besar. Di Islam, misalnya, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Dan sesungguhnya kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, menyebarkan hoax bukan sekadar merugikan orang lain, tetapi juga sedang menggali jurang kehancuran bagi diri sendiri. Hati yang penuh kebohongan lama-kelamaan akan kehilangan kepekaan terhadap kebaikan. Kehidupan menjadi penuh dengan kecemasan, ketakutan, dan rasa bersalah yang menghantui.
Menjadi buzzer negatif bukan hanya merusak orang lain, tetapi juga merusak kesehatan mental diri sendiri. Banyak yang awalnya hanya iseng atau sekadar mengikuti arus, tetapi lama-kelamaan terperangkap dalam lingkaran setan kebohongan yang mereka buat sendiri.
Efek psikologis dari menyebarkan hoax antara lain:
Banyak buzzer akhirnya mengalami tekanan mental berat, bahkan ada yang kehilangan keluarga dan teman karena hidup dalam kepalsuan. Dunia digital mungkin terasa anonim, tetapi efeknya nyata: reputasi yang hancur, kepercayaan yang lenyap, dan hidup yang semakin penuh tekanan.
Mungkin banyak yang berpikir, “Toh saya hanya menjalankan pekerjaan, uangnya halal karena saya bekerja.” Tapi mari kita pikirkan lebih dalam. Apakah uang yang dihasilkan dari menyebarkan kebohongan benar-benar membawa kebahagiaan?
Ada banyak kisah nyata tentang orang-orang yang dulunya menjadi buzzer, lalu kehilangan segalanya. Ada yang ditinggalkan keluarga, ada yang kehilangan pekerjaan karena rekam jejak digitalnya terbongkar, ada yang bahkan mengalami gangguan mental karena beban moral yang terus menghantui.
Rezeki yang didapat dari kebohongan bagaikan makanan yang terlihat lezat tetapi mengandung racun. Mungkin awalnya terasa enak, tetapi lama-kelamaan tubuh mulai sakit dan merasakan dampaknya.
Di era digital, jejak kebohongan sulit dihapus. Apa yang kita tulis hari ini bisa muncul kembali bertahun-tahun kemudian. Banyak orang yang dulunya menjadi buzzer kini kesulitan mendapatkan pekerjaan karena rekam jejak digital mereka menunjukkan bahwa mereka pernah menyebarkan kebohongan.
Bahkan jika ingin bertobat, sering kali masyarakat sulit percaya kembali. Dunia maya memang memberi kebebasan, tetapi juga memiliki hukuman tersendiri. Hoax yang dibuat bisa saja dilupakan oleh orang lain, tetapi dampaknya bagi pembuatnya bisa bertahan seumur hidup.
Jika Anda seorang buzzer negatif atau pernah menyebarkan hoax, sadarilah bahwa tidak ada kata terlambat untuk berhenti. Hidup ini bukan hanya tentang uang instan, tetapi tentang bagaimana kita bisa hidup dengan tenang dan bahagia.
Dunia ini sudah cukup penuh dengan kebohongan dan kebencian. Jangan biarkan diri kita menjadi bagian dari masalah. Saat kita menyebarkan hoax, mungkin kita berpikir sedang menyerang orang lain, tetapi kenyataannya, kitalah yang paling dirugikan—baik secara spiritual, psikologis, maupun sosial.
Berhentilah sebelum terlambat. Karena hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan dalam kebohongan. (RBK)