TODAYNEWS.ID – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW), menekankan pentingnya mengkaji secara serius implikasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/2024 terhadap kualitas demokrasi dan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Hal itu disampaikan HNW dalam kegiatan Sekolah Konstitusi Fraksi PKS dengan MPR RI, bertema “Putusan MK No. 135/2024, Implikasi bagi Penyelenggaraan Pemilu dan Partai Politik”, yang berlangsung di Ruang GBHN, Nusantara V, Kompleks MPR RI, Jakarta, Selasa (17/9/2025).
Pasalnya kata dia, putusan MK tersebut dari kajian MPR masih membingungkan lantaran pemilu harus dipisah menjadi nasional dan lokal.
“Terkait dengan keputusan MK Nomor 135, dari sisi kajian di MPR ini agak dilematis, karena keputusan itu membuat dua sistem pemilihan umum, nasional dan lokal,” kata HNW.
HNW menilai, dengan putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan lokal merupakan bertentangan dengan UUD.
“Menghadirkan pemisahan begitu itu landasan konstitusionalnya juga dipermasalahkan. Karena dalam undang-undang dasar konstitusi kita mengatur pemilihan itu tidak diatur dalam dua kategori lokal maupun nasional,” ujarnya.
“Ini dalam kategori yang lain” yaitu kategori pemilihan umum dan kategori demokratis,” tambahnya.
Lebih lanjut, HNW menekankan bagaimana pemilu di Indonesia ke depan bisa semakin baik dalam pelaksanaannya.
“Bisa memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia, itu yang perlu terjawab,” ucapnya.
HNW juga memandang bahwa keputusan MK No. 135/2024 ini bertentangan dengan Pasal 22 UUD Negara Republik Indonesia.
“Di mana MK dianggap nol batas kewenangan, prinsip kebersamaan,” ucapnya.
Selain itu, ia juga menyoroti dampak putusan terhadap anggaran negara, khususnya pembiayaan pemilu yang berpotensi meningkat, serta posisi MK dalam relasi kewenangan lembaga negara.
Dalam kesempatan itu, ia juga mengaitkan Putusan No. 135/2024 dengan sejumlah putusan MK sebelumnya yang ramai diperbincangkan publik.
Seperti putusan MK No. 2/2023 terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden, serta putusan No. 60/2004 yang mengubah syarat pengajuan calon kepala daerah dari 20 persen menjadi 7,5 persen.
“Putusan-putusan seperti itu kan menimbulkan tanda tanya. Maka perlu dikaji apakah memang sesuai dengan semangat konstitusi, atau justru sebaliknya,” tegasnya.
Tidak ada komentar