Oleh: Rani Badri kalianda – Founder & Facilitator Soul Of Speaking
Apa yang terlintas dibenak?! Ketika seseorang berdiri di tepi jurang gelap, menggenggam senter namun bukan diarahkan ke jalan di depannya, melainkan ke wajahnya sendiri. Padahal tujuannya mencari arah, tapi justru silau oleh bayangan diri—Inilah gambaran seseorang yang flexing—memamerkan kemewahan bukan untuk hidup, tapi untuk dilihat atau demi pengakuan.
Tak semua orang yang memamerkan kemewahan melakukannya karena bahagia. Kebanyakan karena ada ruang kosong dalam batin yang sedang berusaha mereka isi. Sering kali di balik mobil mewah yang dipamerkan, liburan mahal yang diposting, dan tas bermerek yang dikoleksi, tersembunyi kekosongan batin—seperti halnya kastil megah yang dibangun di atas tanah rapuh, dan banyak individu yang melakukan flexing karena ingin menutupi luka harga diri, rasa tidak cukup, atau trauma masa lalu. Mereka ingin diakui, dihormati, atau bahkan ditakuti—karena dalam batin mereka merasa tak terlihat. Flexing menjadi topeng, bukan cermin. Ia menutupi, bukan memperlihatkan kebenaran diri. Seperti senyum topeng badut yang tertawa padahal hatinya sedang menangis. Lantas?! Mengapa orang gemar flexing? Berikut adalah beberapa latar belakang psikologis dan emosional dari kebiasaan flexing:
Banyak pelaku flexing tumbuh dalam lingkungan yang memperlakukan kemiskinan sebagai aib. Karena mereka pernah merasa diremehkan, diabaikan, atau bahkan dihina karena tidak memiliki materi. Maka ketika akhirnya bisa memiliki, mereka terdorong untuk “membalas dunia” melalui pertunjukan keberhasilan. Sesungguhnya mereka tidak sedang memamerkan barang. Mereka sedang berteriak dari luka lama: “Lihat aku sekarang! Aku bukan lagi yang dulu!”
Ibarat tanaman yang tak pernah disirami cinta, jiwa manusia yang kurang dihargai akan mencari pupuk eksternal: Seperti pujian, likes, komentar kagum, dan sorotan. Flexing menjadi cara tercepat untuk mendapatkannya. Padahal, pujian itu seperti makanan cepat saji yang cepat kenyang, namun cepat lapar lagi. Pada akhirnya seseorang terus-menerus perlu “update,” karena harga dirinya kini bergantung pada respons orang lain, bukan pada ketenangan batin.
Dalam era digital yang menghargai tampilan lebih dari esensi, banyak yang berpikir menjadi sosok yang ‘biasa saja’ dianggap memalukan. Maka muncullah ketakutan: “Jika aku tidak bersinar, apakah aku akan dianggap tak ada?” Padahal, dalam dunia nyata, akar pohon yang tersembunyi justru yang membuatnya kokoh.
Dari sinilah akar lain dari flexing tumbuh: ketakutan akan ketidakterlihatan. Ini bukan tentang cinta pada kemewahan, tapi ketakutan akan diabaikan. Bukan tentang menikmati hidup, tapi tentang memastikan dunia melihat kita sedang hidup. Terlebih media sosial telah mengubah panggung kehidupan menjadi pertunjukan 24 jam.
Dalam dunia seperti ini, tampil sederhana bisa terasa seperti berjalan tanpa suara di tengah konser. Seseorang mejadi merasa gagal hidupnya hanya karena tidak bisa menarik perhatian. Akibatnya banyak orang yang takut dianggap ‘biasa’ lalu mereka berusaha tampil ‘luar biasa’, namun bukan dengan karya, tapi dengan kilau yang bisa segera dipamerkan. Tanpa sadar mereka menjadi seperti kembang api: menyala terang, membuat decak kagum sesaat, lalu lenyap. Padahal, esensi sejati bukan pada sorotan sesaat, tapi cahaya yang bertahan. Ibarat pohon besar, bagian yang paling kokoh justru tak terlihat yaitu akar. Namun di dunia yang mencintai sensasi, akar dianggap membosankan. Maka orang lebih memilih menjadi daun-daun terang di musim gugur,
Seperti lomba tanpa garis akhir, media sosial telah menciptakan ajang pamer tak berkesudahan. Dari sinilah hasrat membandingkan mulai tumbuh. Kita mulai menilai hidup bukan dari dalam, tapi dari feeds orang lain. Lalu muncul dorongan diam-diam dalam hati: “Aku juga harus posting sesuatu yang lebih wah, agar terlihat setara, atau bahkan lebih.”
Seseorang yang awalnya puas dengan pencapaiannya, mendadak merasa tertinggal saat melihat postingan orang lain. Maka muncullah dorongan untuk membalas dengan unggahan yang lebih “wah”. Ada pula yang semula merasa cukup dengan rumah kecilnya, pekerjaan stabil, dan liburan sederhana, tiba-tiba bisa merasa gagal hanya karena melihat teman lamanya berfoto di atas yacht atau makan malam di restoran mewah. Padahal bisa jadi itu hasil cicilan panjang atau kolaborasi konten semata. Flexing pun menjadi alat pertahanan—bukan lagi untuk berbagi kebahagiaan, tapi untuk membuktikan diri di tengah perang sunyi bernama eksistensi.
Sesungguhnya Ini bukan kompetisi sehat, tapi kompetisi identitas. Akibatnya kita tak lagi hidup untuk bertumbuh menjadi versi terbaik diri kita, melainkan hidup untuk mengungguli versi orang lain yang belum tentu asli. Padahal, dalam upaya mengalahkan perangkap ilusi, terjerat flexing, malah justru membuat kita kehilangan jati diri, karena lebih mengejar validasi dari banyak orang yang belum tentu orang-orang itu juga peduli, karena mereka juga memiliki pola pikir yang sama. Pada akhirnya kita seperti pelari yang tak pernah sampai karena tak tahu di mana pastinya garis finis berada.
Dalam spiritual, inti kehidupan bukan terletak pada kepemilikan, tapi pada keikhlasan dan kesadaran akan kecukupan. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang tenang meski sederhana, karena ia tahu bahwa makna hidup tak perlu dibungkus gemerlap. Namun ketika seseorang terjebak dalam pusaran flexing, ia mulai memberi makan yang salah—bukan memberi makan jiwa, melainkan ego. Padahal Ego itu seperti api, tak pernah merasa puas. Semakin diberi, semakin ia membakar. Sementara jiwa seperti taman—ia cukup disirami dengan syukur, dirawat dengan rendah hati, dan disinari oleh rasa damai.
Sekali lagi! Flexing itu hanya ilusi dalam menciptakan kepemilikan: Seolah-olah semakin banyak yang dimiliki, maka semakin tinggi pula nilai diri. Padahal dalam pandangan spiritual, nilai sejati seseorang tidak diukur dari seberapa banyak harta yang ia miliki, seberapa tinggi jabatan yang ia duduki, atau seberapa terkenal dirinya di mata dunia. Semua itu bersifat sementara, bisa datang dan pergi sewaktu-waktu. Justru yang menjadi ukuran dalam spiritualitas adalah: Siapa diri ini ketika semua itu hilang. Apakah ia masih memiliki hati yang ikhlas? Apakah ia tetap menjadi pribadi yang jujur, rendah hati, dan penuh kasih? Ataukah semua sifat baik itu ikut menghilang bersama kemewahan yang tak lagi dimiliki? Karena dalam pemahaman spiritual, manusia dinilai bukan dari kemasannya, tapi dari esensinya. Bukan dari apa yang ia genggam, tapi dari bagaimana ia bersikap saat tangannya kosong.
Jika orang yang masih terjebak flexing, maka hari-harinya hanya dipenuhi oleh pencitraan, bukan pembinaan diri. Ia menjadi letih, meski tersenyum di depan kamera. Ia menjadi gelisah, meski mendapat ribuan pujian. Karena jiwanya tahu, pencitraan tidak bisa menggantikan pelukan batin yang sejati. Ketika hidup hanya untuk dilihat, maka kita lupa untuk merasakan. Ketika setiap pencapaian harus diumumkan, maka jiwa kehilangan ruang untuk bersyukur dalam diam. Inilah luka spiritual terbesar dari budaya pamer: kita terlihat penuh, tapi sebenarnya kosong. Kita berkilau di luar, tapi keropos di dalam. Yang sejatinya dibutuhkan bukanlah pengakuan orang lain, tetapi suara lembut dari dalam hati yang berbisik: “Nilaimu tidak ditentukan oleh mata yang memandang, tapi oleh cahaya batinmu yang tetap menyala meski dunia memejamkan mata.”
Di tengah derasnya arus media sosial, budaya flexing yang memamerkan kemewahan dan gaya hidup glamor—secara tidak langsung menciptakan standar kebahagiaan yang palsu. Seolah-olah, hidup yang dianggap “berhasil” harus ditandai dengan rumah megah, mobil mewah, tas branded, jalan-jalan ke luar negeri, dan tampilan yang Instagramable. Masalahnya, tidak semua orang hidup dalam kenyataan seperti itu. Namun ketika kemewahan terus-menerus dipertontonkan, masyarakat awam—yang mungkin hidup sederhana—terjebak dalam perasaan gagal, meskipun mereka sedang menjalani hidup yang baik dan bermakna. Dari sinilah lahir dampak sosial yang nyata:
Banyak orang mulai merasa dirinya gagal dan menjadi rendah diri —bukan karena benar-benar gagal dalam hidup, tetapi karena tidak bisa tampil seperti yang mereka lihat di layar media sosial. Padahal, mereka memiliki gaji yang cukup, keluarga yang harmonis, dan kehidupan yang jujur serta tenang. Namun semua itu terasa tak berarti ketika yang dipuja secara kolektif adalah kemewahan dan tampilan luar. Lambat laun, muncullah ilusi bahwa hidup yang sederhana adalah hidup yang “kurang.” Orang pun mulai meragukan keberhargaan dirinya sendiri hanya karena tidak punya apa yang dimiliki orang lain. Mereka menjadi lupa bahwa nilai hidup seseorang bukan ditentukan oleh apa yang tampak dari luar—seperti pakaian mahal, rumah megah, atau mobil mewah—melainkan apa yang ia lakukan dan perjuangkan dalam hidupnya. Apakah ia membawa kebaikan? Apakah ia jujur dalam bekerja, tulus dalam membantu, dan bersyukur dalam kesederhanaan? Karena pada akhirnya, yang membuat hidup berharga bukanlah penampilan, tapi makna yang ditinggalkan.
Jika kita ingin mencari cermin kejujuran, Flexing adalah cermin palsu—yang tidak memantulkan siapa kita sebenarnya, melainkan hanya memantulkan standar semu yang membuat kita selalu merasa kurang, karena yang terlihat di cermin adalah proyeksi yang dibuat oleh ilusi orang lain.
Jika kita perhatikan di era media sosial, standar kehidupan sepertinya tidak lagi ditentukan oleh kebutuhan sejati, tetapi oleh penampilan luar yang bisa “dipamerkan.” Banyak orang membeli barang bukan karena memang dibutuhkan, tetapi karena ingin terlihat “berkelas” di mata orang lain.
Tas bermerek, gadget terbaru, atau outfit mahal sering kali dibeli bukan sebagai alat, melainkan sebagai simbol status. Celakanya, demi menjaga citra tersebut, tak sedikit yang rela berutang, memaksakan gaya hidup di luar kemampuan finansialnya. Mereka mengorbankan kestabilan ekonomi pribadi hanya agar tetap terlihat ‘mampu’ dalam foto dan video singkat. Akibatnya, terbentuklah budaya konsumtif yang tidak sehat: Masyarakat lebih sibuk membeli citra daripada membangun kualitas diri. Pada akhirnya banyak yang hidup dari cicilan ke cicilan, bukan karena kebutuhan pokok, tapi karena tuntutan pencitraan sosial. Kondisi ini membuat masyarakat terjebak dalam lingkaran semu: Mengejar pujian digital, tapi kehilangan kedamaian finansial yang nyata.
Kini flexing bukan lagi sekadar pamer, tapi telah berubah menjadi tekanan sosial terselubung yang mendorong orang untuk hidup di atas kemampuannya, hanya demi tampil ‘wah’ di mata orang lain—yang mungkin juga sedang memaksakan hal yang sama. Secara tidak langsung pengaruh flexing, telah menciptakan pergeseran nilai yang perlahan tapi pasti menggerus fondasi kehidupan sosial yang sehat. Nilai-nilai luhur seperti kerja keras, kejujuran, kesederhanaan, dan ketulusan—yang dulu menjadi kebanggaan—kini makin jarang dihargai. Sebaliknya, masyarakat mulai lebih menghormati penampilan luar daripada kepribadian seseorang. Tas bermerek, mobil mewah, atau gaya hidup mahal, menjadi ukuran kesuksesan seseorang bukan karena akhlak mulia atau kontribusi nyata bagi lingkungan.
Padahal dahulu, seseorang dihormati karena siapa dia, sekarang lebih sering dihormati karena apa yang dia tunjukkan. Flexing telah menjelma menjadi cermin palsu—bukan cermin yang memantulkan realita, tapi membentuk ilusi. Ia menipu mata, membutakan hati. Kita pun tanpa sadar mulai mengukur harga diri dari jumlah likes, follower, atau barang yang bisa kita pamerkan, bukan dari nilai yang kita bawa dalam hidup ini. Pabila kita bercermin pada ilusi itu, maka kita akan mudah merasa “kurang.” Bukan karena kita benar-benar kekurangan, tapi karena kita membandingkan diri dengan versi editan kehidupan orang lain. Foto-foto yang tampak bahagia, mewah, dan sempurna itu sering kali hanyalah potongan kecil bukan dari hidup yang sebenarnya, bisa saja dari hidup yang penuh kegelisahan dan kekosongan. Jika kita tidak segera sadar, akibatnya kita akan ikut larut dalam perlombaan tanpa garis akhir. Lomba yang tak pernah ada pemenangnya, karena setiap orang berlomba menutupi kekosongan dengan kemasan, bukan mengisi kekosongan dengan makna.
Hidup yang hanya dipoles di permukaan, tak ubahnya seperti barang berlapis emas—mengkilap di luar, tapi rapuh dan mudah mengelupas ketika diuji waktu. Sedangkan hidup yang dibangun dari dalam, dengan nilai, kejujuran, dan kesadaran, adalah emas murni—tak perlu dipamerkan, tapi tetap bernilai bahkan ketika disembunyikan dalam tanah.
Budaya flexing menawarkan kemewahan yang terlihat, tapi sering kali menukar kedamaian jiwa dengan tepuk tangan kosong. Ia menjanjikan pengakuan, namun melupakan kedalaman. Ia membuat kita sibuk membungkus hidup, sampai lupa mengisinya. Kita semua sesungguhnya adalah ladang yang subur. Namun jika hanya sibuk menanam bunga plastik demi terlihat indah, kita tak pernah benar-benar menumbuhkan apa pun yang hidup.
Maka, sebelum sibuk membuat dunia melihat kita bersinar, pastikan terlebih dahulu bahwa jiwa kita menyala dari dalam—karena sinar yang paling sejati bukan yang dipantulkan, tetapi yang lahir dari ketulusan hati. Jadilah pribadi yang tidak hanya dipandang, tetapi juga dikenang karena makna, bukan karena mewahnya rupa. Pada akhirnya, ketika dunia berhenti melihat, hanya nilai sejati yang akan tetap bercahaya dalam keabadian.
Jika flexing adalah suara ego yang menjerit minta pengakuan, maka flourishing adalah suara jiwa yang tenang karena tahu dirinya berharga, meski tak dilihat siapa-siapa. Hiduplah bukan untuk memamerkan, tapi untuk memberi dampak. Bangunlah kehidupan yang tak perlu diumumkan, karena keberkahan sejati tak butuh panggung—ia cukup terasa dalam keheningan yang damai.
Jadilah seperti pelita di tengah gelap: kecil, tapi menuntun. Jadilah seperti akar di dalam tanah: tersembunyi, tapi memberi kehidupan. Saat dunia terus berisik dengan sorotan, jadilah orang yang tenang dalam sunyi—karena ia tahu, yang sejati tak perlu terlihat agar menjadi berarti. (RBK)