TODAYNEWS.ID – Persoalan rumah tangga kini kerap jadi konsumsi publik seiring semakin maraknya penggunaan media sosial. Banyak pasangan yang mengalami masalah justru menceritakan kisah mereka melalui unggahan dengan tagar “marriage is scary”.
Cerita tersebut datang dari berbagai kalangan, mulai dari pengguna biasa hingga influencer populer di media sosial. Tak jarang, kisah yang dibagikan kemudian memicu perbincangan luas.
Berbagai persoalan rumah tangga pun terbuka di media sosial. Isinya beragam, mulai dari kasus KDRT, masalah finansial, hingga dominasi suami yang bersifat patriarkal.
Unggahan itu diberi tagar “marriage is scary” yang berarti pernikahan itu menakutkan.
Awalnya, hashtag tersebut ramai di TikTok sebelum menyebar ke platform lain seperti X (dulu Twitter). Lewat tren ini, warganet menuangkan keresahan mereka tentang kehidupan pernikahan.
Fenomena “marriage is scary” membuat sebagian anak muda semakin ragu untuk menikah. Lantas, bagaimana cara menghadapi rasa takut menikah di tengah tren yang sedang marak ini?
Ada beberapa langkah untuk mengatasi ketakutan tersebut. Cara-cara ini dikutip Parapuan dari Psych Central.
Fenomena “marriage is scary” membuat sebagian anak muda semakin ragu untuk menikah. Lantas, bagaimana cara menghadapi rasa takut menikah di tengah tren yang sedang marak ini?
Ada beberapa langkah untuk mengatasi ketakutan tersebut. Cara-cara ini dikutip Parapuan dari Psych Central.
Sebelum memutuskan menikah, seseorang perlu menanamkan ekspektasi realistis. Pernikahan menyatukan dua pribadi dengan pemikiran berbeda, sehingga konflik bisa saja muncul.
Meski menjadi pasangan suami istri, tetap ada perbedaan pandangan yang mungkin memicu pertengkaran. Karena itu, penting membicarakan kelebihan dan kekurangan masing-masing sebelum menikah, termasuk hal-hal yang bersifat prinsip.
Selain saling menerima, pasangan juga perlu menghargai dan berupaya memperbaiki diri. Dengan begitu, pernikahan bisa terbangun lebih bahagia tanpa dihantui rasa takut.
Pernikahan yang harmonis membutuhkan pengetahuan dan wawasan. Pasangan sebaiknya memahami hal-hal dasar seperti manajemen konflik, pengelolaan keuangan, komitmen, pola pengasuhan anak, serta prioritas dalam keluarga.
Mereka juga dianjurkan mengikuti kelas pra-nikah agar siap menghadapi dinamika rumah tangga dengan konflik yang lebih minim.
Setiap orang memiliki alasan berbeda untuk menikah, begitu juga calon pasangan. Alasan tersebut bisa berupa keinginan hidup bersama orang tercinta, meneruskan keturunan, atau sekadar memiliki teman hidup.
Alasan pribadi tidak bisa dianggap salah meski berbeda pendapat. Sayangnya, sebagian orang enggan menyampaikannya karena takut dianggap putus asa mencari pasangan. Padahal, hal ini penting untuk menyamakan ekspektasi dalam pernikahan.
Dengan memahami alasan pribadi dan calon pasangan, seseorang bisa lebih selektif dalam menentukan siapa yang tepat mendampingi. Mengetahui alasan masing-masing juga membantu menyatukan visi dan misi dalam membangun rumah tangga.
Tidak ada komentar