x

BURUH: Mesin Besar yang Tak Pernah Berhenti, Tapi Sering Dilupakan

waktu baca 4 menit
Kamis, 1 Mei 2025 13:16 91 Akbar Budi

Oleh: Rani Badri Kalianda, Founder & Facilitator Soul Of Speaking

Setiap tanggal 1 Mei, Indonesia seperti mengetuk jam alarm sosial yang selama ini terabaikan. Suara peluit, orasi di jalanan, dan spanduk-spanduk yang berkibar bukan sekadar simbol protes, melainkan suara mesin yang sedang berkarat—teriakan dari mereka yang selama ini menjadi nadi ekonomi, tapi justru sering dilupakan mereka adalah para buruh.

Jika negara ini adalah sebuah kapal besar, maka buruh adalah mesin penggeraknya. Mereka bukan kapten yang berdiri di anjungan dengan pakaian bersih dan kompas di tangan. Mereka adalah awak yang berkeringat di ruang mesin, mengatur katup, menjaga agar kapal ini terus melaju. Namun sayangnya, ketika kapal sampai di pelabuhan kejayaan, para awak sering kali ditinggal di bawah geladak , tidak diajak naik ke atas dek untuk menikmati hasil pelayaran.

Realitas Buruh Saat Ini: Kerja Berat, Upah Seret
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang diklaim terus membaik, nasib buruh tetap terseok. Upah minimum yang ditetapkan kadang seperti nasi bungkus yang dibagikan untuk mengobati kelaparan—cukup untuk bertahan, tapi tidak untuk berkembang. Apalagi di tengah lonjakan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan anak, dan ongkos kesehatan yang makin tak ramah, upah buruh menjadi seperti air di keran yang menetes—ada, tapi tak pernah cukup untuk mengisi penuh gelas kehidupan.

Banyak buruh masih bekerja dalam kondisi kerja yang tidak layak. Jam kerja panjang, minim perlindungan sosial, hingga status outsourcing yang membuat mereka tak lebih dari penumpang sementara dalam sistem industri. Mereka bisa diganti kapan saja, seperti suku cadang dalam mesin, tanpa dihitung sebagai nyawa yang punya mimpi.

Menyulam Langit dengan Benang Rapuh
Bayangkan seorang buruh seperti penjahit yang diminta untuk menyulam langit. Tugasnya besar, tanggung jawabnya berat, tapi benangnya rapuh dan jarumnya tumpul. Bagaimana mungkin hasilnya indah jika alatnya saja tidak memadai? Bagaimana mungkin negara bisa berbicara tentang pertumbuhan jika tulang punggungnya sendiri tak diberi kekuatan?

Buruh bukan hanya angka statistik. Mereka adalah ayah yang menahan lapar demi anaknya bisa sekolah. Mereka adalah ibu yang lembur malam di pabrik, sembari memikirkan bagaimana membeli susu esok hari. Mereka adalah pejuang—bukan di medan perang, tetapi di barisan produksi, di tengah riuh mesin dan debu pabrik.

Menuntut Bukan Berarti Membenci
Ketika buruh menuntut haknya, bukan berarti mereka membenci pengusaha atau mencaci pemerintah. Mereka hanya ingin didengar, seperti anak yang ingin dipeluk orang tuanya saat terjatuh. Mereka hanya ingin diakui bahwa kerja keras mereka adalah bagian dari kemajuan bangsa ini. Keadilan bukanlah kemewahan yang layak ditawar-tawar. Ia adalah fondasi, dan tanpa itu, gedung kesejahteraan apa pun yang dibangun pasti akan retak.

Bangkitkan Kesadaran, Bukan Sekadar Peringatan
Hari Buruh bukan hanya soal turun ke jalan. Ini adalah momen refleksi kolektif. Apakah sistem ketenagakerjaan kita sudah cukup manusiawi? Apakah regulasi yang ada melindungi martabat manusia, atau hanya menjadikan buruh sekadar alat produksi?

Sudah saatnya negara ini berhenti bersikap seperti pemilik pabrik yang hanya menghitung untung-rugi, dan mulai bersikap seperti pemimpin rumah tangga yang merawat semua anggotanya dengan cinta dan keadilan. Buruh tidak meminta diberi mahkota. Mereka hanya ingin sepasang sepatu yang layak untuk terus berjalan, atap yang tidak bocor untuk berteduh, dan piring yang tak pernah kosong di meja makan keluarga mereka.

Jika Negara Ingin Melaju, Rawat Mesinnya
Negara ini bisa jadi mobil balap tercepat di dunia, tapi jika mesinnya rusak, ia tak akan sampai garis finish. Para buruh adalah mesin itu. Mereka bukan hanya karyawan, mereka adalah harapan, tulang punggung, dan denyut nadi Indonesia yang sesungguhnya.

Mobil tercepat bukan ditentukan oleh seberapa canggih bodinya, tapi seberapa sehat mesin di balik kapnya. Begitu juga bangsa ini: Keindahan infrastruktur, pencitraan kemajuan, semua itu akan runtuh bila para buruh dibiarkan aus tanpa pelumas keadilan dan oli kesejahteraan.

Maka di Hari Buruh ini, mari bukan hanya mendengar, tapi benar-benar mendengarkan. Bukan hanya memberi panggung, tapi benar-benar memberdayakan. Karena di pundak buruh, berdiri masa depan bangsa. Dan jika kita gagal merawat mereka, kita sedang meretakkan masa depan kita sendiri.(RBK)

Post Views92 Total Count
LAINNYA
x