SAVE_20251125_220610 TODAYNEWS.ID – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyelenggarakan 2nd PlateauPlus International Workshop bertajuk “Plateau Plus in Tethys” yang menegaskan relevansi riset plateau (dataran tinggi) bagi Indonesia.
Workshop ini menjadi platform bagi ilmuwan global untuk berkolaborasi merumuskan pemahaman dinamika Bumi dan strategi pengurangan risiko bencana.
Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani, menekankan bahwa dataran tinggi berfungsi sebagai laboratorium alam untuk mempelajari proses-proses yang dibentuk oleh tektonik, iklim, dan aktivitas manusia.
“Meneliti lingkungan dataran tinggi dan kepulauan global mengungkapkan bagaimana faktor-faktor geologis, lingkungan, dan antropologis berinteraksi, memperdalam pemahaman kita tentang Bumi dan peran manusia di dalamnya,” kata Faisal di Auditorium BMKG, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
Sebagai informasi, forum yang digelar selama 2 hari ini akan menampilkan sesi ilmiah intensif, mencakup 46 pembicara dari berbagai latar belakang akademik yang terbagi dalam lima sesi utama.
Para pakar dan pembicara yang hadir berasal dari berbagai negara seperti China, Jerman, Indonesia, Iran, Jepang, Oman, Pakistan, Inggris, dan Amerika Serikat. Selain itu, lebih dari 60 kontribusi poster penelitian juga dipamerkan, memperkaya wawasan peserta.
Lebih lanjut, Faisal menjelaskan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia terbentuk dari fragmen kerak bumi (terranes) dan endapan yang berasal dari Samudra Tethys pada masa Mesozoikum.
Interaksi empat lempeng utama—Indo-Australia (barat dan selatan), Eurasia, Pasifik, dan Laut Filipina (utara dan timur)—telah menciptakan mosaik kerak bumi yang kompleks di kepulauan Indonesia
“Aktivitas subduksi tektonik di sepanjang batas lempeng Indonesia juga memengaruhi gunung berapi dan memicu aktivitas gempa yang aktif, termasuk yang berasal dari sesar dan megathrust,” urainya.
Secara keseluruhan, lanjut Faisal, lingkungan tektonik yang kompleks ini menghasilkan sabuk busur vulkanik yang aktif di wilayah Indonesia.
Sebagai contoh, sejarah mencatat adanya letusan Gunung Tambora (1815) dan Gunung Krakatau (1883) pernah terjadi di Indonesia.
“Letusan ini menyuntikkan aerosol ke stratosfer dan menghasilkan efek iklim global jangka pendek yang terukur,” tuturnya.
Selain itu, BMKG kata dia, juga menyoroti ancaman tsunami yang dipicu aktivitas tektonik, terutama mengingat dampak Gempa Bumi dan Tsunami Samudra Hindia 2004 (Mw 9.1).
“Kondisi tektonik, iklim, dan atmosfer di Indonesia berinteraksi dengan dataran tinggi global di luar wilayah kita. Interaksi ini memengaruhi aspek sosio-budaya masyarakat dan kesadaran mereka terhadap mitigasi bencana alam,” pungkasnya.
Untuk itu, kata Faisal, workshop ini menjadi platform penting bagi para ilmuwan untuk berkolaborasi dalam merumuskan pemahaman yang lebih baik tentang dinamika Bumi.
Ia berharap, setiap diskusi yang dihasilkan dapat digunakan untuk tujuan praktis, terutama dalam hal pengurangan risiko bencana.
“Mari kita manfaatkan peristiwa ini sebagai kesempatan untuk upaya bersama memahami dinamika Bumi. Setiap upaya dapat berkontribusi dalam mengurangi kemungkinan korban jiwa manusia selama bencana alam,” pungkasnya.