TODAYNEWS.ID – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 104/PUU-XXIII/2025. Dalam putusan tersebut MK menyatakan Bawaslu dapat memutus pelanggaran administrasi pemilihan kepala daerah (pilkada).
Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty mengatakan, putusan tersebut memberikan kepastian terhadap produk hukum yang dikeluarkan Bawaslu. “Putusan ini memberikan kekuatan yang mengikat terhadap produk hukumnya Bawaslu,” kata Lolly dalam pernyataannya yang diunggah di akun Instagram pribadinya dikutip Kamis (31/7/2025).
Dia menjelaskan, hasil kajian Bawaslu pada perkara penanganan pelanggaran administrasi sifatnya rekomendasi, dan disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). “Karena rekomendasi, maka KPU melakukan upaya memeriksa dan memutuskan,” ujar Lolly.
Dia mengatakan, rekomendasi yang disampaikan Bawaslu ada kalanya ditindaklanjuti oleh KPU. Terkadang rekomendasi tersebut putusannya bahwa KPU tidak dapat menjalankan rekomendaasi dari Bawaslu. “Sehingga dalam praktiknya, karena sifatnya rekomendasi, kadang kala banyak yang tidak kemudian dijalankan rekomendasi ini,” kata Lolly.
Dia menyampaikan, pergantian frasa ‘rekomendasi’ pada Pasal 139 Undang-Undang 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau biasa disebut pilkada menjadi ‘putusan’ dan frasa ‘memeriksa dan memutus’ pada Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Pilkada menjadi ‘menindaklanjuti’, menjadi momentum bagi kepastian produk hukum Bawaslu ke depan.
“Menjadi sebuah momentum yang penuh kemajuan untuk adanya kepastian hukum terhadap produk yang dikeluarkan oleh Bawaslu dan memberikan kekuatan yang mengikat,” jelas Lolly.
Mantan anggota Bawaslu Provinsi Jawa Barat ini menambahkan bahwa putusan tersebut menjadi angin segar bagi jajaran pengawas pemilu agar bisa menekan terjadi polemik akibat rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu tidak ditindaklanjuti. “Ini bisa menghentikan atau menekan polemik yang sering kali muncul karena rekomendasinya tidak dapat dijalankan oleh KPU,” pungkas mantan Sekretaris Eksekutif Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia ini.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dapat memutus pelanggaran administrasi pemilihan kepala daerah (pilkada).
MK mengabulkan permohonan Nomor 104/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Mahasiswa Unversitas Mataram, Yusron Ashalirrohman dan Roby Nurdiansyah serta Yudi Pratama Putra dan Muhammad Khairi Muslimin (paralegal).
Di mana dalam amar putusan, MK mengubah frasa ‘rekomendasi’ pada Pasal 139 Undang-Undang 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau biasa disebut pilkada menjadi ‘putusan’.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo mengucapkan putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu (30/7/2025).
Selain itu, MK juga mengubah frasa ‘memeriksa dan memutus’ pada Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Pilkada menjadi ‘menindaklanjuti’. Sehingga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menindaklanjuti putusan Bawaslu.
MK memandang terdapat perbedaan peranna Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu dan pilkada. Di mana, pada UU Pemilu, Bawaslu dapat memutus pelanggaran administrasi pemilu. Sedangkan pada UU Pilkada, Bawaslu hanya diberikan kewenangan memberikan rekomendasi terhadap pelanggaran administrasi pilkada.
“Perbedaan demikian menyebabkan dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu, kewenangan Bawaslu menjadi lebih pasti karena putusan Bawaslu mengikat dan KPU wajib menindaklanjuti,” kata Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.
“Sementara itu, dalam menangani pelanggaran administrasi pilkada, karena hanya berupa rekomendasi, kewenangan Bawaslu menjadi sangat tergantung pada tindak lanjut yang dilakukan oleh KPU,” tambahnya.
MK menyebut dengan adanya perbedaan tersebut maka tidak ada kepastian hukum mengikat bagi Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi pilkada.
Hakim Konstitusi mengatakan, dalam mewujudkan pilkada yang berintegritas, perlu dasar hukum yang pasti. Sehingga, hukum tersebut dapat ditegakkan oleh Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi pilkada.
“Sehingga dapat dicegah dan diselesaikan segala bentuk pelanggaran, termasuk pelanggaran administratif,” ujar Ridwan.
Oleh karena itu, MK meminta pembentuk undang-undang untuk melakukan penyelarasan terkait peraturan hukum pemilu. Dan, MK meminta segera dilakukan pembahasan mengenai Revisi Undang-Undang Pemilu.
“Upaya penyelarasan tidak hanya mencegah dualisme pengaturan yang berpotensi tumpang tindih, tetapi juga memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan setara bagi seluruh warga negara dalam menggunakan hak politiknya terutama dalam mewujudkan asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” pungkasnya.
Tidak ada komentar