TODAYNEWS.ID – Anggota Komisi II DPR RI Indrajaya, mendukung wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD guna mencegah terjadinya praktik korupsi oleh kepala daerah terpilih.
Sebab, menurutnya selama ini pelaksanaan pesta demokrasi di daerah membutuhkan biaya yang sangat mahal, sehingga ketika kepala daerah itu terpilih banyak yang terjerat kasus-kasus korupsi.
Sementara, pemerintah pun juga harus mengeluarkan anggaran yang besar untuk pelaksanaan Pilkada. Seperti misalnya, anggaran Pilkada tahun 2024 yang mencapai Rp 41 triliun. Sehingga sangat tepat, jika hal ini dijadikan evaluasi akhir untuk efisiensi penganggaran Pilkada.
“Karena Pilkada 2024 adalah Pilkada puncak serentak nasional yang dirancang dalam 5 gelombang sejak Pilkada 2015, Pilkada 2017, Pilkada 2018, dan Pilkada Tahun 2020,” beber Indrajaya, Rabu (6/8/2025).
Selain itu, kata Indrajaya, Pilkada melalui DPRD juga bisa menghentikan kegaduhan hukum. Sebab, sejak Pilkada Serentak Gelombang Pertama 2015, UU Pilkada mengalami empat kali perubahan. Yakni, UU Nomor 1 Tahun 2015, UU Nomor 8 Tahun 2015, UU Nomor 10 Tahun 2016 dan UU Nomor 6 Tahun 2020.
“UU Pilkada menjadi UU yang paling banyak disengketakan di MK. MK mencatat ada 35 kali pengujian UU Pilkada sepanjang tahun 2024,” ucapnya.
Untuk itu, menurutnya, kerap dilakukannya pengujian terhadap UU Pilkada mengesankan perundang-undangan tersebut tidak melalui kajian mendalam dan terkesan adanya akrobatik hukum, syarat kepentingan (misbaksel legislatif) dan DPR dijadikan tumbal.
“Untuk meninggikan derajat demokrasi, alasan kegaduhan hukum menjadi cara jitu mengembalikan Pilkada oleh DPRD,” ucapnya politikus PKB itu.
Lebih lanjut, praktik money politics atau politik uang dalam Pilkada yang sering terungkap di Sidang Perselisihan Hasil MK juga menjadi pertimbangan. Pasalnya selama ini, pergerakan politik uang di Pilkada tidak terbendung dan kerap menggunakan modus dusta.
“Begitu juga pelanggaran netralitas ASN dalam Pilkada, terutama karena adanya petahana. Hal ini memicu intimidasi kekuasaan dan politisasi birokrasi. ASN yang seharusnya netral, bisa mempengaruhi untuk mendukung atau memihak petahana, baik secara sukarela maupun karena tekanan,” sambungnya.
Selain itu, banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi juga bisa menjadi evaluasi pilkada. Jumlah kepala daerah yang dipenjara akibat korupsi sejak Pilkada langsung cukup banyak. Berdasarkan data KPK, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022, ada 22 Gubernur dan 148 Bupati/Wali Kota yang telah ditindak KPK karena kasus korupsi.
“ICW mencatat bahwa sepanjang tahun 2010-2018, ada 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum,” tegas Indrajaya.
Tidak ada komentar