Anggota Komisi XII DPR RI Ateng Sutisna. Foto: IstimewaTODAYNEWS.ID – Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tengah mengkaji sanksi terhadap pelanggaran dalam perdagangan karbon dengan berkoordinasi bersama Mahkamah Agung (MA).
Menanggapi itu, Anggota Komisi XII DPR RI Ateng Sutisna, menekankan bahwa penegakan hukum harus melihat permasalahan yang lebih luas, terutama konflik yang terjadi selama ini muncul di wilayah adat.
Ia menjelaskan bahwa skema carbon offset di mana pengembang menjual serapan karbon dari kawasan hutan yang mereka restorasi hingga ratusan tahun seringkali menimbulkan permasalahan.
“Fraud, greenwashing, hingga penistaan terhadap masyarakat adat adalah potensi yang nyata dalam praktik perdagangan karbon kita,” ujar Ateng, Kamis (20/11/2025).
Ateng mencontohkan, seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah, di mana sejumlah pengembang restorasi hutan mengalami tumpang tindih dengan konsesi perkebunan. Situasi ini menimbulkan hukum sekaligus memicu konflik kepentingan yang merugikan masyarakat lokal.
Ateng juga menyoroti temuan yang disampaikan Aliansi Masyarakat Adat Masyarakat Nusantara (AMAN) yang menunjukkan bahwa adat hampir tidak pernah dilibatkan dalam proses proyek karbon.
“Sebanyak 70% kredit karbon dari hutan adat yang dikelola korporasi, sementara masyarakat adat hanya menerima 5–10% manfaat dan tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” katanya.
Laporan dari Climate Change News (2025) turut memperkuat kekhawatiran tersebut. Di Kalimantan, sejumlah proyek REDD+ di wilayah adat dikuasai secara eksklusif oleh korporasi yang didukung industri pengolahan kayu, kelapa sawit, hingga PLTU batu bara.
Bahkan, sejumlah konsesi lahan penghasil kredit karbon memiliki jejak deforestasi dan pelanggaran hak masyarakat adat yang belum pernah terselesaikan. Sebagian skema karbon juga digunakan sebagai greenwashing, sementara kerusakan lingkungan tetap terjadi.
Oleh karena itu, ia menilai kolaborasi KLH dan Mahkamah Agung harus memastikan bahwa penegakan hukum pasar karbon tidak hanya menyasar aspek teknis, tetapi juga akar konfliknya, termasuk permasalahan sosial dan hak masyarakat adat.
“Perdagangan karbon tidak hanya merugikan korporasi. Skema carbon offset harus menjadi pintu masuk kesejahteraan masyarakat adat yang selama ratusan tahun menjaga hutan kita,” tegasnya.
Ia berharap kajian yang disusun dapat memperkuat integritas pasar karbon Indonesia, sekaligus memastikan bahwa masyarakat adat menjadi pihak yang dilindungi dan diberdayakan.
“Tanpa keberpihakan yang jelas kepada masyarakat adat, integritas pasar karbon kita akan terus rapuh,” tutupnya.