Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi, Dr. Agatha Jumiati, S.H, M.H. Foto: Dok PribadiOleh: Dr. Agatha Jumiati, S.H, M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah penjaga tertinggi konstitusi (the guardian of constitution). Namun belakangan, peran sakral itu tampak meredup. Bukan karena lembaganya lemah, melainkan karena putusan-putusan MK sering kali tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh lembaga negara yang seharusnya tunduk padanya.
Padahal, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK dengan tegas menyebut bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Namun dalam praktik, “mengikat” tampak kehilangan maknanya. Banyak lembaga negara menunda, mengabaikan, atau bahkan menafsirkan ulang isi putusan seolah itu sekadar rekomendasi, bukan perintah konstitusional.
Ketika hukum tertinggi negara tidak lagi ditaati, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kewenangan MK, tetapi wibawa konstitusi itu sendiri. Fenomena ini menandai munculnya krisis kepatuhan konstitusional.
Beberapa putusan MK dijalankan selektif dilaksanakan hanya jika sejalan dengan kepentingan politik atau institusional. Misalnya, dalam kasus pengujian undang-undang, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering menunda revisi undang-undang yang dinyatakan inkonstitusional sebagian. Sementara dalam kasus lain, isi putusan ditafsirkan ulang demi kenyamanan lembaga pelaksana.
Hal ini menimbulkan paradoks dimana MK sudah mengadili dengan mekanisme konstitusional, tetapi pelaksanaan putusannya tergantung pada itikad baik pihak lain. Padahal dalam negara hukum, ketaatan terhadap putusan tidak boleh bersyarat, ini adalah bentuk penghormatan terhadap supremasi konstitusi.
Tidak sedikit pihak menilai bahwa lemahnya pelaksanaan putusan MK terjadi karena intervensi dan kalkulasi politik. Dalam sistem presidensial seperti Indonesia, banyak pelaksanaan putusan bergantung pada koordinasi antar Lembaga terutama pemerintah dan DPR. Sayangnya, dua lembaga ini justru sering memperlambat tindak lanjut dengan alasan “pertimbangan politik dan kebijakan.”
Akhirnya, hukum konstitusi tersandera oleh kompromi politik. Contohnya, beberapa putusan penting terkait sistem pemilhan umum (pemilu), masa jabatan pejabat publik, dan pembentukan lembaga baru, justru diabaikan atau ditunda pelaksanaannya tanpa sanksi tegas.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah kita masih hidup dalam negara hukum, atau sudah bergeser menjadi negara kompromi kekuasaan?
Salah satu akar persoalan dari lemahnya pelaksanaan putusan MK adalah tidak adanya mekanisme pemaksa (enforcement mechanism). Berbeda dengan putusan pengadilan umum yang dapat dieksekusi oleh aparat penegak hukum, putusan MK tidak memiliki lembaga eksekutor.
Pelaksanaannya bergantung sepenuhnya pada kesadaran lembaga negara lain.
Hal ini menyebabkan putusan MK berada dalam posisi paradoksal: final, tapi tidak final secara faktual.
MK telah menegaskan, putusannya bersifat erga omnes-berlaku umum bagi semua pihak. Namun tanpa sistem pengawasan dan sanksi, putusan itu kehilangan daya paksa.
Maka, perlu dipikirkan mekanisme konstitusional baru yang memastikan putusan MK dijalankan secara efektif. Misalnya, pembentukan lembaga pengawas pelaksanaan putusan konstitusi, atau pemberian kewenangan administratif kepada MK untuk menegur lembaga yang lalai melaksanakan putusannya.
Menjalankan putusan MK bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi tanggung jawab moral konstitusional. Ketaatan terhadap putusan MK adalah ukuran kedewasaan sistem hukum dan politik kita. Setiap lembaga negara, baik eksekutif maupun legislatif, wajib memahami bahwa mengabaikan putusan MK berarti mengabaikan konstitusi.
Dan, ketika konstitusi diabaikan, maka legitimasi hukum negara pun runtuh. Lebih dari itu, pelaksanaan putusan MK adalah bentuk penghormatan terhadap rakyat karena MK tidak bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi untuk menegakkan hak-hak konstitusional warga negara.
Kita harus kembali menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bukan opini, melainkan perintah konstitusi. Jika lembaga negara boleh mengabaikannya tanpa konsekuensi, maka kita sedang membuka jalan menuju krisis hukum dan anarki institusional. Kepatuhan terhadap putusan MK bukan hanya persoalan hukum, tapi persoalan etika kenegaraan.
Amandemen, reformasi hukum, dan demokrasi tidak akan bermakna tanpa penghormatan terhadap konstitusi yang menegaskannya. Sudah saatnya negara memastikan bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari konstitusi, dan tidak ada lembaga yang lebih berdaulat dari hukum. Karena pada akhirnya, konstitusi tidak membutuhkan penjaga baru—ia hanya butuh pejabat yang taat.