TODAYNEWS.ID – Dua desa di Kabupaten Bogor terancam dilelang lantaran terkendala kredit macet perusahaan.
Isu terkait pelelangan sejumlah desa ini terus mencuat ke publik hingga menarik perhatian sejumlah tokoh politik hingga pejabat di Indonesia.
Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto pun angkat bicara terkait isu tersebut.
Dalam rapat audiensi bersama Pimpinan DPR RI dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di kompleks parlemen, Jakarta pada Rabu 24 September 2025 kemarin, Yandri menekankan perlunya langkah tegas pemerintah dan DPR untuk mencegah pelelangan dua desa tersebut.
Yandri menyebutkan desa yang dimaksud adalah Desa Sukamulya dan Desa Sukaharja di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor.
Menurutnya, kedua desa ini telah berdiri sejak 1930, jauh sebelum Indonesia merdeka, namun kini justru terancam hilang karena urusan utang perusahaan.
“Ada 2 desa sekarang, di Bogor, di Kecamatan Sukamakmur, yaitu Desa Sukamulya dan Sukaharja, lagi dilelang, Pak Dasco,” ucap Yandri kepada Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.
Yandri menambahkan, masalah bermula sejak 1980 ketika sebuah perusahaan mengagunkan tanah desa ke bank. Kredit macet membuat tanah itu kini masuk proses lelang.
“Desa ini berdiri tahun 1930, sebelum merdeka, tapi ketika tahun 80, ada salah satu perusahaan mengagunkan tanah ke bank, ini kredit macet, ternyata tanah itu tanah desa, dan sekarang sedang dipasang pelangnya,” jelasnya.
Lebih jauh, politisi partai PAN itu juga menyoroti persoalan ribuan desa yang berada di dalam kawasan hutan.
Yandri menyebut ada sekitar 3.000 desa dengan status demikian, meski warga di dalamnya memiliki KTP, ikut pemilu, dan sah secara administratif.
“Data kami sekarang hampir 3.000 desa itu masuk dalam kawasan hutan, artinya desanya kawasan hutan semua. Bayangkan ini, Pak Dasco, desanya penduduknya ada, KTP-nya ada, ikut pemilu, tapi desanya kawasan hutan semua,” ungkapnya.
Kondisi itu berdampak serius bagi warga desa, mulai dari keterbatasan akses infrastruktur, listrik yang tak bisa masuk, hingga adanya kasus kriminalisasi warga karena menggarap tanah.
“Mereka nggak bisa ngegarap apa-apa, kalau garap ditangkap. Sudah 4 orang yang ditangkap,” kata Yandri.
Menurut Yandri, sekitar 16 ribu desa lain berada berimpit dengan kawasan hutan. Akibat status hukum ini, pembangunan infrastruktur dasar kerap terhambat.
Mantan anggota DPR itu juga mencontohkan desa di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, yang hingga kini tak memiliki jalan lantaran dianggap berada di kawasan hutan.
“Kenapa? Dari jalan raya menuju desa itu, ini kawasan hutan, tidak boleh dibangun. APBD nggak berani masuk, tadi kata Pak Nusron takut dianggap korupsi. APBN juga nggak berani masuk,” papar Yandri.
Menanggapi situasi di Bogor, Yandri menegaskan pemerintah tengah berupaya mencegah pelelangan dua desa tersebut.
Mantan wakil ketua MPR itu juga meminta aparat penegak hukum tidak meneruskan eksekusi lelang karena warga sah secara hukum tinggal di wilayah itu.
“Mohon para pihak yang mungkin diberi amanat untuk melakukan sita dan lain sebagainya itu tolong dihentikan karena bagaimanapun desa itu sah secara hukum,” tegasnya.
Yandri menekankan bahwa kesalahan bukan terletak pada desa, melainkan pada proses pencatatan kredit perusahaan yang menggadaikan tanah.
“Mereka dapat dana desa, ada nomor induk desa, ada pemerintahan desanya, ada KTPnya, mereka bayar pajak dan lain sebagainya dan mereka ikut pemilu,” lanjutnya.
Dengan situasi yang menyangkut jutaan warga desa, Yandri meminta adanya langkah taktis dan strategis dari DPR serta pemerintah.
“Jadi hampir 25 juta orang yang tersasar akibat masuk dalam kawasan hutan ini. Dan rata-rata mereka miskin, karena tidak punya infrastruktur dasar, pendidikan dasar, dan lain-lain,” katanya.
Menurut Yandri, solusi komprehensif diperlukan agar desa-desa bisa keluar dari status kawasan hutan, sehingga pembangunan dan perlindungan terhadap warga bisa berjalan adil.***
Tidak ada komentar