TODAYNEWS.ID – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) telah resmi mengajukan permohonan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sejumlah Pasal di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Dikutip dari siaran pers pada 10 Agustus 2023 lalu ada beberapa poin yang disoroti Walhi terkait dampak negatif dari UU Ciptaker Omnibus Law kepada lingkungan.
Poin pertama, UU Ciptaker diduga telah mengampuni kejahatan atas kerusakan lingkungan melalui poin mekanisme keterlanjuran dan menghilangkan sanksi pidana atas kerusakan lingkungan digantikan dengan sanksi administrasi yang telah menggambarkan kerusakan lingkungan bisa digantikan dengan uang.
Adapun bunyi pasal yang dianggap kontroversi itu termaktub didalam Pasal 110 A dan Pasal 110 B di UU Ciptaker Omnibus Law.
Selain itu, Walhi menilai bahwa ketentuan terkait pengampunan kejahatan atau kerusakan hutan itu memang sengaja ditetapkan terlebih saat itu sedang masuk dalam tahun politik.
Berdasarkan analisis Walhi, dari sebagian besar korporasi yang telah di identifikasi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tergabung dalam grup besar sawit di Indonesia dan di duga juga kerap ikut berpatisipasi dalam kepentingan politik.
Masih berdasarkan data laporan analisis, korporasi-korporasi yang telah tergabung dalam grup besar sawit itu diduga selaim melakukan aktivitas ilegal yang menyebabkan kerusakan hutan juga melakukan pelanggaran lainya yakni seperti perampasan tanah masyarakat.
Di sisi lain, Walhi juga melihat bahwa pasal mengenai percepatan pengukuhan kawasan hutan tidak diatur lebih lanjut sehingga akan sangat mungkin mengukuhkan kawasan hutan tanpa persetujuan rakyat.
Sementara itu, UU Ciptaker terkait pasal lingkungan hidup disinyalir juga turut menghapus kewenangan DPR RI memberikan persetujuan untuk usulan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan juga dihapus.
Kondisi itu, menurut Walhi, akan menghilangkan mekanisme check and balance terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Selain memperlemah penegakan hukum dan menghilangkan tanggung jawab negara untuk melindungi batas minimal 30 persen kawasan hutan, UU Ciptaker juga mereduksi makna AMDAL.
Adapun dalam Undang-undang Cipta Kerja, terang Walhi, dokumen AMDAL disebutkan merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan.
Bunyi pasal itu, diduga juga telah menghilangkan makna AMDAL sebelumnya merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan.
Selain itu, Walhi melihat bahwa Pasal 162 UU Ciptaker juga telah mengafirmasi bunyi Pasal 163 UU Mineral Batu Bara yang ditengarai sering disalahgunakan korporasi dan juga aparatur penegak hukum untuk mengkriminalisasi rakyat. (GIB)