TODAYNEWS.ID – Aksi demo para pengemudi ojek online (ojol) di Kota Semarang diwarnai dengan aksi melepas jaket ojol kemudian ditaburi bunga yang melambangkan kedukaan.
Aksi digelar di halaman Kantor Gubernur Jawa Tengah Kota Semarang.
Para pengemudi ojol yang datang dan melakukan aksi sembari membentangkan poster tuntutan bertuliskan ‘hapus layanan grabbike akses hemat, hapus layanan slot grabfood, hapus layanan order gabungan, kembalikan vermuk seperti semula’.
Tampak juga di sekitar seragam mereka, ada poster-poster dengan tulusan ‘jare mitra kok malah jadi sapi perahan’, ‘aplikator penghisap darah driver’, ‘payung hukum belum mampu memayungi kami’, ‘hapus perbudakan modern’.
Humas aksi dari komunitas Online Bergerak, Didik Agus Rianto menyampaikan, tuntutan aksi mereka senada dengan aksi serupa di berbagai kota di Indonesia, yakni penghapusan sistem potongan tinggi dari aplikator dan desakan agar pemerintah segera membuat payung hukum yang mengatur transportasi online.
“Kami minta pemerintah daerah ikut menyuarakan aspirasi kami ke pemerintah pusat. Potongan dari aplikator sangat mencekik. Di aplikasi tertulis 20 persen, tapi praktiknya bisa sampai 40-50 persen,” kata Didik disela-sela aksi, Selasa (20/5/2025).
Selain potongan, para pengemudi ojol ini juga menyoroti kebijakan ‘Grab Hemat’ dan fitur berbayar agar mendapat order. Untuk mendapatkan pesanan, driver bahkan harus membayar hingga Rp 3 ribu per orderan. Dalam sebulan, mereka bisa mengeluarkan uang hingga Rp 380 ribu, sementara penghasilan bersih terus menurun.
“Dulu sehari bisa dapat Rp 700 ribu, sekarang dapat setengahnya aja sudah bersyukur,” tuturnya.
Didik mengungkapkan, saat ini tarif ojol makin murah, potongan makin besar. Hal itu membuat para pengemudi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sekaligus membiayai kendaraan yang digunakan untuk mencari nafkah.
“Banyak teman-teman yang mobilnya ditarik leasing karena tidak mampu bayar angsuran. Bisa dilihat mobil banyak yang pajaknya mati,” bebernya.
Dia menjelaskan, menanggalkan jaket atribut aplikator dan menaburkan bunga sebagai simbol atau bentuk ‘pemakaman’ transportasi online yang mereka anggap telah mati dari segi kesejahteraan.
“Ibaratnya transportasi online di Indonesia itu sudah mati karena tidak ada keadilan untuk kami,” tegasnya.
Ketua DPD Asosiasi Driver Online Jateng, Daniel menambahkan, tuntutan utama aksi tersebut adalah pembentukan Undang-Undang tentang transportasi online yang mengatur semua aspek, mulai dari tarif batas bawah dan atas, perlindungan mitra, hingga pengiriman barang.
“Selama ini aplikator bertindak semena-mena. Kami seperti ditindas. Program dibuat sepihak, tidak sesuai kondisi di lapangan. Bahkan manipulasi jarak tempuh juga terjadi, jarak sebenarnya 10 kilometer bisa tercatat hanya 7 kilometer, otomatis tarif berkurang,” terangnya.
Daniel mengatakan, saat ini para driver harus berjuang keras demi menutup biaya harian, termasuk bensin dan sewa kendaraan.
“Dulu bisa bawa pulang Rp 300 ribu, sekarang Rp 100 ribu saja belum tentu. Kalau pemerintah tidak segera turun tangan, kondisinya bisa semakin buruk,” ujarnya.
Mereka berharap, perjuangan hari ini bisa membuka jalan bagi kebijakan yang lebih adil bagi para mitra transportasi online.