Oleh: Rani Badri Kalianda, Founder & Facilitator Soul Of Speaking
Dalam perjalanan hidup, kita sering kali tersesat dalam hiruk-pikuk dunia yang penuh dengan ambisi, harapan, dan kekecewaan. Seperti seorang musafir yang berjalan di padang pasir mencari oase untuk menghilangkan dahaga.
Maka Ramadhan adalah perjalanan panjang itu—sebuah proses pembersihan diri dari debu-debu duniawi. Sedang Idul Fitri, adalah tujuan akhirnya, tempat dimana kita seharusnya kembali dengan hati yang jernih, jiwa yang tenang, dan kesadaran baru tentang hakikat kehidupan.
Tapi, apakah kita benar-benar kembali ke fitrah? Ataukah Idul Fitri hanya menjadi ritual tahunan tanpa makna yang membekas?
Mari kita renungkan bersama, bagaimana Ramadhan dan Idul Fitri seharusnya mengubah pola laku serta pola komunikasi kita, dan membawa kita pada kebahagiaan sejati melalui kesadaran spiritual dan komunikasi jiwa.
Seorang pandai besi memanaskan logam dalam bara api sebelum menempa dan membentuknya menjadi sesuatu yang berharga. Begitu pula dengan Ramadhan. Ia adalah bulan di mana jiwa kita ditempa. Kita dilatih menahan lapar dan dahaga, bukan sekadar mengekang fisik, tetapi untuk menyadarkan bahwa hidup bukan sekadar memuaskan keinginan. Kita mengendalikan amarah, belajar memberi, dan mengasah empati.
Sekali lagi! Puasa bukan hanya tentang menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan ego dari kesombongan, lisan dari ucapan yang menyakiti, serta hati dari kebencian. Jika selama Ramadhan kita berhasil melewati ujian-ujian itu, maka Idul Fitri seharusnya menjadi momentum kemenangan sejati—bukan sekadar kemenangan atas rasa lapar, tetapi kemenangan atas diri sendiri.
Idul Fitri berasal dari kata “fitri” yang berarti suci. Seperti bayi yang baru lahir, Idul Fitri adalah kesempatan untuk kembali ke kondisi jiwa yang bersih, bebas dari kebencian dan dendam. Namun, kembali ke fitrah bukan sekadar memakai baju baru atau menyajikan hidangan istimewa. Kembali ke fitrah berarti memiliki hati yang baru—hati yang penuh cinta, keikhlasan, dan kedamaian.
Jika membayangkan sebuah cermin yang sebelumnya penuh debu, tentu tidak menarik bukan?! Otomatis jika kita ingin melihat wajah kita terlihat jernih, pasti cermin tersebut kita bersihkan.
Mungkin sebelum Ramadhan, hati kita seperti cermin itu—keruh oleh prasangka, iri hati, dan kesombongan. Nah selama Ramadhan, kita mengusap debu-debu itu dengan ibadah, doa, dan pengendalian diri.
Maka di saat Idul Fitri tiba, seharusnya cermin itu kembali bersih, memantulkan cahaya kebaikan.Pertanyaannya? Apakah kita benar-benar merasakan kedamaian itu? Ataukah setelah Ramadhan berlalu, kita kembali ke kebiasaan lama—berbicara kasar, menghakimi orang lain, dan menyimpan dendam?
Salah Satu refleksi terbesar setelah Ramadhan adalah bagaimana kita berkomunikasi—baik dengan diri sendiri, orang lain, maupun Tuhan tidak lagi sekadar bunyi kata. Karena dalam kehidupan sehari-hari, kita sering lupa bahwa kata-kata memiliki energi. Sebuah ucapan bisa menjadi cahaya yang menghangatkan atau pedang yang melukai.
Karenanya para bijak mengatakan setiap kata yang terucap adalah doa, apabila hidup yang kita jalani hasilnya tidak sesuai dengan yang kita impikan, atau lebih banyak tidak enaknya dibandingkan yang indahnya.
Itu artinya, tanpa sadar kita kerap berkata-kata yang tidak kita kehendaki atau kata-kata yang sarat dengan energi negatif. Sekali lagi! Ramadhan adalah sekolah bagi kita untuk mewapadai setiap kata yang terucap atau terpikir, dan menjadi piawai berkomukasi dengan jiwa atau Soul Of Speking.
Soul of Speaking atau komunikasi dengan jiwa adalah bentuk komunikasi yang lahir dari hati yang bersih. Ini adalah cara berbicara yang tidak hanya memperhatikan apa yang diucapkan, tetapi juga bagaimana energi dari kata-kata yang kita ucapkan bisa memengaruhi orang lain dan diri sendiri.
Nah! Jika seseorang yang baru saja menyelesaikan ibadah Ramadhan dengan penuh kesungguhan, tetapi setelah Idul Fitri tetap berbicara dengan nada tinggi, mudah tersinggung, atau mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Apakah benar ia telah kembali ke fitrah? Sebuah tanya yang harus kita jawab sendiri. Lantas seperti apakah Berbicara dengan jiwa itu?:
Mari kita sadari, betapa banyak konflik dalam hidup ini terjadi karena kesalahpahaman dalam komunikasi? Kadang-kadang, satu kata bisa merusak hubungan, satu kalimat bisa menghancurkan hati. Jika setelah Ramadhan kita masih mudah mengeluarkan kata-kata negatif, maka mungkin kita perlu bertanya kembali: Apakah kita benar-benar telah kembali ke fitrah?
Sekali lagi, Idul Fitri seharusnya tidak hanya membawa kebahagiaan sesaat, tetapi kebahagiaan yang mendalam. Dan kebahagiaan sejati lahir dari ketenangan jiwa, bukan dari kemewahan perayaan. Setelah menjalani Ramadhan, kita seharusnya lebih sadar akan makna kehidupan:
Seseorang yang telah menjalani Ramadhan dengan kesungguhan hati maka akan terjadi perubahan besar dalam dirinya, dia menjadi lebih sabar, lebih ikhlas, dan lebih tenang dalam menghadapi hidup.
Jika sebelumnya mudah tersulut amarah, kini ia lebih memilih diam dan merenung sebelum berbicara. Jika sebelumnya sering merasa iri dengan keberhasilan orang lain, kini ia lebih banyak bersyukur atas apa yang dimiliki. Inilah yang disebut kemenangan sejati atau kembali ke Fitri.
Idul Fitri bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan baru—perjalanan untuk hidup dengan kesadaran yang lebih tinggi. Seperti lilin yang dinyalakan dalam kegelapan, Ramadhan menyalakan cahaya dalam jiwa kita. Tugas kita adalah menjaga cahaya itu agar tidak padam setelah bulan suci berlalu.
Mari jadikan Idul Fitri sebagai momen untuk benar-benar kembali ke fitrah. Bukan hanya dengan mengenakan pakaian baru, tetapi dengan hati yang baru. Bukan hanya dengan saling bermaafan di bibir, tetapi dengan benar-benar menghapus dendam dalam hati. Dan yang terpenting, bukan hanya dengan merayakan kemenangan, tetapi dengan terus menapaki jalan perubahan menuju versi terbaik dari diri kita.
Sebab, kebahagiaan sejati bukanlah tentang bagaimana kita merayakan Idul Fitri, tetapi bagaimana kita menjadikan setiap hari setelahnya sebagai langkah menuju kedamaian, cinta, dan kebijaksanaan. (RBK)