TODAYNEWS.ID – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisan menyoroti kabar yang beredar terkait wacana pemerintah dan DPR RI yang hendak merevisi Undang-Undang Polri.
Adapun wacana itu muncul setelah pemerintah dan DPR pada pekan ini resmi mengesahkan RUU TNI menjadi Undang-Undang.
Menyikapi hal itu, Ketua YLBHI Muhammad Isnur mendesak pemerintah dan DPR membatalkan penyusunan RUU Polri disahkan menjadi Undang-Undang.
Sosok yang akrab disapa Isnur itu menilai. Langkah pemerintah dan DPR yang kembali menyusun RUU Polri dapat menimbulkan polemik kembali di ranah masyarakat.
Sebab, pada pekan ini. Keputusan pemerintah dan DPR yang resmi mengesahkan UU TNI saja telah menimbulkan aksi penolakan yang cukup besar di berbagai wilayah.
Isnur menilai, daripada menyusun RUU Polri, pemerintah dan DPR RI sebaiknya dapat memprioritaskan pembahasan RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, hingga RUU Masyarakat Adat.
“Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini,” kata Isnur, Selasa (24/3/2024).
Isnur menyebut ada dugaan sejumlah pasal yang memberikan karpet merah kepada kepolisian untuk mengintervensi dan membatasi ruang Siber yang berpotensi mengecilkan ruang kebebasan berpendapat publik.
Dalam aturan RUU polri itu ditenggarai dapat menimbulkan polemik karena telah memberikan kewenangan kepolisan melakukan penindakan di ruang Siber.
Hal itu ditengarai menyebabkan tumpang tindihnya aturan terkait penindakan kejahatan siber antara kepolisian, pihak Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Badan Sandi dan Siber Negara.
Sebagai informasi, revisi UU Polri dikabarkan telah termasuk dalam rancangan undang-undang inisiatif DPR. Adapun pembahasan revisi UU itu ditengarai sudah dilakukan sejak tahun 2024 lalu.
Berdasarkan data yang beredar, diduga terdapat sejumlah pasal yang diusulkan bakal dilakukan perubahan berdasarkan draf RUU Polri.
Sementara itu, usulan revisi pasal yang diduga dapat menuai polemik itu yakni terkait Pasal 14 ayat 1 huruf g dalam draf RUU Polri.
Pada Pasal itu telah disebutkan, anggota Polri dapat bertugas mengkoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oleh UU, dan bentuk pengamanan swakarsa.
Berkaitan dengan hal itu, Isnur menyebut, perubahan bunyi pasal itu telah berpotensi memberikan kesempatan peran polri sebagai superbody investigator. Dan juga berdampak memunculkan ruang bisnis keamanan dan pelanggaran HAM.
“Pasal lain yang menjadi polemik dalam draf RUU Polri yaitu 16 A. Mengatur tentang kewenangan Polri untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional,” terangnya.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, bahwa usulan Pasal itu membuat kewenangan Intelkam Polri dapat berpotensi melebihi lembaga lain yang mengurus soal intelijen.
“Melalui usulan Pasal itu. Polri berpotensi memiliki kewenangan untuk meminta data inteljen dari lembaga-lembaga seperti BSSN hingga Badan Intelijen Strategis TNI,” tandasnya. (GIB)